Monumen Makam Joang Mandor
Makam Joang Mandor itu berbentuk –karung- yang terselungkup dengan ketinggian 8 M lebar 3 M.
Agar penampilannya seperti rajutan atau anyaman karung terbuat dari daun pandan atau daun nipah maka di monumen dipergunakan marmer dari Citatah Jawa Barat.
Di bawah Monumen tersimpan kerangka jenazah yang diambil dari salah satu makam berdasarkan petunjuk Pak Samad orang yang setia menjaga dan memelihara komplek makam Mandor. Pengambilan rangkaan jenazah itupun dilakukan malam Jumat jam 12 dengan syarat yang mengambilnya hanya Pak Samad dan Penulis. Karena syarat itu disampaikan langsung pada Bapak Gubernur maka penulis tidak bisa menolak walaupun cemas juga bukan karena dingin atau gelap serta sepi, tapi di kuburan.
Di atas penutup kerangka jenazah di bawah monumen terletak sebuah prasasti sebagai ungkapan pesan para korban pada generasi penerusnya.
Untuk membuat kata-kata di prasasti itu diajukan penulis pada Bapak Gubernur beberapa konsep alternatif antara lain sebagai berikut:
1.Tulang belulangku sebagai bukti bahwa penjajahan itu sangat kejam oleh karenanya pertahankanlah tanah airmu.
2.Kupersembahkan makam Joang bagimu untuk mengenang jasa dalam menentang penjajahan di Kal-Bar Th 1942- 1945.
3.Jiwa ragaku telah kukorbankan demi untuk kesejahteraan generasi yang akan datang.
4.Tidak cukup sekedar anda kenang –tapi kuharap anda teruskan semangat joangmu-untuk memerangi segala bentuk penjajahan.
Selanjutnya dibangun tembok relief di kiri kanan monumen yang menceritakan peristiwa yang pernah terjadi diawali pendaratan angkatan laut Jepang di Pemangkat atau Tanjung Batu diteruskan pertemuan-pertemuan para tokoh-tokoh Kalbar dilanjutkan penangkapan serta diakhiri pembunuhan yang sadis dalam lobang yang besar untuk puluhan bahkan ratusan orang. Pemahatnya secara khusus didatangkan Gubernur dari Jogya karena di daerah pada waktu itu belum ada tenaga ahlinya.
Rencana pada waktu itu di belakang tembok relief akan dipahat nama-nama para korban seperti monumen di beberapa tempat seperti di Washington.DC. digrafir pada temboknya nama-nama tentara Amerika yang mati pada perang Vietnam.
Tapi sayangnya nama-nama itu belum lengkap oleh karenanya nanti akan ditempelkan saja nama-nama yang telah digrafir itu dan sampai sekarang rencana itu belum terlaksana.
Ketinggian Plaza untuk upacara ditiggikan dengan ketinggian 1.20 M untuk terkesan Munomental
Berdsarkan penataan kawasan Makam Joang Mandor yang dibuat sesuai petunjuk Gubernur Kadarusno pada waktu itu Danau yang ada di depan Makam ketinggian airnya dipertahankan permukaanya dan dilepaskan itik dan angsa berenang serta para pengunjung dapat naik sampan untuk rekreasi.
Di pinggir dibangun Pendopo atau Kopel tempat pengunjung istirahat. Di belakang antara monumen dan makam pertama yang jaraknya sekitar 500 m dibangun landasan helikopter serta semua makam akan dipugar dengan arsitektur khas daerah.
Kamis, 16 Juni 2011
Makam Paha Demang Kunin
Makam ini terletak diantara Lawang Siti dan Dusun Seladan dalam sungai Sekadau, jika menggunakan kendaraan roda dua dapat dilewati melalui Jalan Sintang Km 4 masuk ke lokasi kurang lebih dua Km. Sudah tidak asing lagi sebagian masyarakat Sekadau yang namanya “MAKAM PAHA DEMANG KUNIN” menurut cerita yang kami himpun dari tetua/sesepuh yang dapat dipercaya. Bahwa makam yang usianya ratusan tahun ini hanya terbuat dari batu biasa, setelah di ilhami melalui mimpi beberapa orang, ternyata itu adalah Kuburan Paha Inik Kamonink.Makam tersebut panjangnya 3 meter lebih. Untuk melestarikan bukti sejarah tersebut, maka kurang lebih 15 tahun yang lalu direnovasi kembali oleh penduduk Desa Mungguk “Hasan Dego” dengan menggunakan semen. Pada zaman dahulu, makam ini sering dikunjungi oleh orang-orang yang mempunyai maksud tertentu, dan tak sedikit temuan-temuan ganjil/aneh sebagai cerita pribadi orang yang apabila kebetulan melewati makam ini dimalam hari terutama melewati jalur sungai, karena letaknya tidak jauh dari pantai sungai Sekadau.
Makam ini terletak diantara Lawang Siti dan Dusun Seladan dalam sungai Sekadau, jika menggunakan kendaraan roda dua dapat dilewati melalui Jalan Sintang Km 4 masuk ke lokasi kurang lebih dua Km. Sudah tidak asing lagi sebagian masyarakat Sekadau yang namanya “MAKAM PAHA DEMANG KUNIN” menurut cerita yang kami himpun dari tetua/sesepuh yang dapat dipercaya. Bahwa makam yang usianya ratusan tahun ini hanya terbuat dari batu biasa, setelah di ilhami melalui mimpi beberapa orang, ternyata itu adalah Kuburan Paha Inik Kamonink.Makam tersebut panjangnya 3 meter lebih. Untuk melestarikan bukti sejarah tersebut, maka kurang lebih 15 tahun yang lalu direnovasi kembali oleh penduduk Desa Mungguk “Hasan Dego” dengan menggunakan semen. Pada zaman dahulu, makam ini sering dikunjungi oleh orang-orang yang mempunyai maksud tertentu, dan tak sedikit temuan-temuan ganjil/aneh sebagai cerita pribadi orang yang apabila kebetulan melewati makam ini dimalam hari terutama melewati jalur sungai, karena letaknya tidak jauh dari pantai sungai Sekadau.
Goa Lawang Kuari kabupaten sekadau
Kompleks gua ini berada di Desa Seberang Kapuas, Kecamalan Sekadau Hilir. Merupakan gua alam yang memiliki sejarah bagi kerajaan Sekadau yang merupakan tempat bertapa raja zaman kuno.
Gua ini berada di tebing Sungai Kapuas. Ada tiga gua berjejer (lubang). Konon katanya gua pertama paling kanan (hilir) milik sukuDayak, Bagian tengah milik suku Senganan (Melayu), dan bagian kiri (Hulu) milik suku China (Tionghoa).
Gua ini memiliki mitologi. Zaman dahulu pernah dipakai oleh Pangeran Agung dari Kerajaan Sekadau sebagai tempat bertapa. Walaupun rongga depan gua kecil tetapi bagi yang beruntung dapat masuk dengan mudah walau dengan merangkak terlebih dahulu waktu memasukinya. Di dalamnya luas serta tinggi dan terdapat danau di dalamnya. Lorong gua ini tembus sampai ke kota Tayan di Kabupaten Sanggau.
Kompleks gua ini berada di Desa Seberang Kapuas, Kecamalan Sekadau Hilir. Merupakan gua alam yang memiliki sejarah bagi kerajaan Sekadau yang merupakan tempat bertapa raja zaman kuno.
Gua ini berada di tebing Sungai Kapuas. Ada tiga gua berjejer (lubang). Konon katanya gua pertama paling kanan (hilir) milik sukuDayak, Bagian tengah milik suku Senganan (Melayu), dan bagian kiri (Hulu) milik suku China (Tionghoa).
Gua ini memiliki mitologi. Zaman dahulu pernah dipakai oleh Pangeran Agung dari Kerajaan Sekadau sebagai tempat bertapa. Walaupun rongga depan gua kecil tetapi bagi yang beruntung dapat masuk dengan mudah walau dengan merangkak terlebih dahulu waktu memasukinya. Di dalamnya luas serta tinggi dan terdapat danau di dalamnya. Lorong gua ini tembus sampai ke kota Tayan di Kabupaten Sanggau.
Vihara Budha Tri Dharma (Ji Gong House of Help)
Kota Singkawang
A. Selayang Pandang
Predikat sebagai “Kota Seribu Kuil” memang layak diberikan bagi Singkawang. Pasalnya, daerah dengan landscape perbukitan ini terkenal dengan banyaknya kuil Budha. Salah satu kuil tersebut bernama Vihara Budha Tri Dharma.
Vihara Budha Tri Dharma (Ji Gong House of Help) atau biasa disebut sebagai Vihara Cikung merupakan vihara terbesar di Kabupaten Singkawang. Vihana ini terletak di daerah perbukitan di Jalan Sagatani.
Kemegahan Vihara Budha Tri Dharma langsung terasa begitu kita memasuki pintu gerbang. Warna merah, biru, dan keemasan menjadi warna dominan di vihara ini. Selain besarnya bangunan vihara, keberadaan Panti Wreda “Sinar Abadi” semakin mengukuhkan bahwa fungsi vihara ini tidak semata-mata sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai media pelayanan kemanusiaan.
Menurut pengurus vihara, bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 1999. Awalnya, vihara ini hanya mempunyai satu lantai, tetapi pada tahun 2000, vihara ini mengalami renovasi hingga bertingkat tiga.
Bangunan lantai satu Vihara Budha Tri Dharma dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian depan dan belakang. Di bagian depan terdapat patung Budha Cikung dalam pose berdiri dengan tinggi sekitar 2 meter. Di depan Patung Budha Cikung terdapat air mancur mini yang telah diberkati oleh Budha Cikung. Di sekeliling air mancur dibatasi dengan tempat yang menyerupai bentuk belanga yang terbuat dari semen dengan diameter sekitar 1 meter. Para pengunjung diperbolehkan untuk mengambil airnya untuk diminum. Di sebelah kanan Patung Budha Cikung terdapat bedug besar dengan diameter sekitar 1,5 meter. Membran bedug ini terbuat dari kulit sapi. Di sebelah kiri Patung Budha Cikung terdapat lonceng (genta) besar.
Bangunan lantai satu di bagian belakang diisi oleh Patung Sang Budha Gautama dengan ketinggian sekitar 2 meter. Di sekeliling Patung Budha terdapat berbagai patung dewa-dewi yang sesuai dengan kepercayaan umat Budha.
Memasuki lantai dua kita akan melihat sebuah Patung Budha Cikung dalam pose duduk dengan tinggi sekitar 2 meter. Di depan Patung Budha Cikung terdapat semacam teras bangunan. Di teras ini dibangun dua buah tiang dengan balutan patung naga sedang melilit tiang dan di puncak tiang terdapat Patung Sun Go Kong yang sedang mengangkat bola bercahaya (lampu). Di tengah-tengah tiang terdapat Patung Sun Go Kong dengan tinggi sekitar 2 meter.
Memasuki lantai tiga, kita akan menemukan Patung Budha Cikung dengan ukuran lebih kecil dibandingkan dengan patung yang sama yang ada di lantai satu dan dua. Di ruangan yang sama, terdapat pula Patung Budha yang terletak di depan Patung Budha Cikung. Hanya saja, Patung Budha di lantai tiga ini ukurannya jauh lebih kecil daripada Patung Budha yang berada di lantai satu. Selain Patung Budha Cikung dan Patung Budha, lantai ini juga dipenuhi dengan berbagai patung dewa-dewi dalam kepercayaan umat Budha. Patung-patung tersebut berjajar rapi di sekeliling ruangan. Keseluruhan patung di Vihara Budha Tri Dharma dicat dengan warna keemasan.
B. Keistimewaan
Vihara Budha Tri Dharma adalah vihara terbesar di Singkawang. Vihara ini dibangun di tanah dengan luas sekitar 500 m². Bangunan yang bertingkat tiga ini didominasi dengan warna merah menyala.
Kemegahan Vihara Budha Tri Dharma juga terlihat dari ditempatkannya beberapa patung dengan ukuran raksasa setinggi 2 meter. Misalnya saja patung Sang Budha, Budha Cikung di lantai satu, dan patung Sun Go Kong di lantai dua.
C. Lokasi
Vihara Budha Tri Dharma atau Vihara Cikung merupakan sebuah vihara yang terletak di Jalan Sagatani (Sin Nam), Kelurahan Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
D. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut tiket untuk berkunjung ke Vihara Budha Tri Dharma. Hanya saja pengunjung diharapkan memberikan sumbangan sekadarnya bagi pengelola vihara.
E. Akses
Perjalanan ke Vihara Tri Dharma dapat ditempuh dengan mobil dalam tempo sekitar 20 menit dari pusat Kota Singkawang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Bagi para pengunjung yang ingin mengenal lebih dekat tentang agama Budha atau Vihara Budha Tri Dharma, pengelola menyediakan sejumlah buku secara cuma-cuma. Pengunjung juga bisa menggali informasi lebih jauh tentang Vihara Budha Tri Dharma dengan cara menanyakan kepada pengelola vihara yang juga berperan sebagai pemandu selama mengunjungi di Vihara Budha Tri Dharma.
Selain pemandu, pengunjung juga bisa “berebut berkah” dengan meminum air yang telah diberkahi oleh Budha Cikung. Menurut penuturan pengelola Vihara Budha Tri Dharma, air ini bisa menyembuhkan penyakit atau memperpanjang usia.
Vihara Cikung tidak hanya dijadikan tempat beribadah umat Budha. Vihara ini juga sekaligus dijadikan sebagai Panti Wreda “Sinar Abadi”. Baik Vihara Cikung maupun Panti Wreda “Sinar Abadi” berada di bawah Yayasan Dharma Budha Cikung.
Kota Singkawang
A. Selayang Pandang
Predikat sebagai “Kota Seribu Kuil” memang layak diberikan bagi Singkawang. Pasalnya, daerah dengan landscape perbukitan ini terkenal dengan banyaknya kuil Budha. Salah satu kuil tersebut bernama Vihara Budha Tri Dharma.
Vihara Budha Tri Dharma (Ji Gong House of Help) atau biasa disebut sebagai Vihara Cikung merupakan vihara terbesar di Kabupaten Singkawang. Vihana ini terletak di daerah perbukitan di Jalan Sagatani.
Kemegahan Vihara Budha Tri Dharma langsung terasa begitu kita memasuki pintu gerbang. Warna merah, biru, dan keemasan menjadi warna dominan di vihara ini. Selain besarnya bangunan vihara, keberadaan Panti Wreda “Sinar Abadi” semakin mengukuhkan bahwa fungsi vihara ini tidak semata-mata sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai media pelayanan kemanusiaan.
Menurut pengurus vihara, bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 1999. Awalnya, vihara ini hanya mempunyai satu lantai, tetapi pada tahun 2000, vihara ini mengalami renovasi hingga bertingkat tiga.
Bangunan lantai satu Vihara Budha Tri Dharma dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian depan dan belakang. Di bagian depan terdapat patung Budha Cikung dalam pose berdiri dengan tinggi sekitar 2 meter. Di depan Patung Budha Cikung terdapat air mancur mini yang telah diberkati oleh Budha Cikung. Di sekeliling air mancur dibatasi dengan tempat yang menyerupai bentuk belanga yang terbuat dari semen dengan diameter sekitar 1 meter. Para pengunjung diperbolehkan untuk mengambil airnya untuk diminum. Di sebelah kanan Patung Budha Cikung terdapat bedug besar dengan diameter sekitar 1,5 meter. Membran bedug ini terbuat dari kulit sapi. Di sebelah kiri Patung Budha Cikung terdapat lonceng (genta) besar.
Bangunan lantai satu di bagian belakang diisi oleh Patung Sang Budha Gautama dengan ketinggian sekitar 2 meter. Di sekeliling Patung Budha terdapat berbagai patung dewa-dewi yang sesuai dengan kepercayaan umat Budha.
Memasuki lantai dua kita akan melihat sebuah Patung Budha Cikung dalam pose duduk dengan tinggi sekitar 2 meter. Di depan Patung Budha Cikung terdapat semacam teras bangunan. Di teras ini dibangun dua buah tiang dengan balutan patung naga sedang melilit tiang dan di puncak tiang terdapat Patung Sun Go Kong yang sedang mengangkat bola bercahaya (lampu). Di tengah-tengah tiang terdapat Patung Sun Go Kong dengan tinggi sekitar 2 meter.
Memasuki lantai tiga, kita akan menemukan Patung Budha Cikung dengan ukuran lebih kecil dibandingkan dengan patung yang sama yang ada di lantai satu dan dua. Di ruangan yang sama, terdapat pula Patung Budha yang terletak di depan Patung Budha Cikung. Hanya saja, Patung Budha di lantai tiga ini ukurannya jauh lebih kecil daripada Patung Budha yang berada di lantai satu. Selain Patung Budha Cikung dan Patung Budha, lantai ini juga dipenuhi dengan berbagai patung dewa-dewi dalam kepercayaan umat Budha. Patung-patung tersebut berjajar rapi di sekeliling ruangan. Keseluruhan patung di Vihara Budha Tri Dharma dicat dengan warna keemasan.
B. Keistimewaan
Vihara Budha Tri Dharma adalah vihara terbesar di Singkawang. Vihara ini dibangun di tanah dengan luas sekitar 500 m². Bangunan yang bertingkat tiga ini didominasi dengan warna merah menyala.
Kemegahan Vihara Budha Tri Dharma juga terlihat dari ditempatkannya beberapa patung dengan ukuran raksasa setinggi 2 meter. Misalnya saja patung Sang Budha, Budha Cikung di lantai satu, dan patung Sun Go Kong di lantai dua.
C. Lokasi
Vihara Budha Tri Dharma atau Vihara Cikung merupakan sebuah vihara yang terletak di Jalan Sagatani (Sin Nam), Kelurahan Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
D. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut tiket untuk berkunjung ke Vihara Budha Tri Dharma. Hanya saja pengunjung diharapkan memberikan sumbangan sekadarnya bagi pengelola vihara.
E. Akses
Perjalanan ke Vihara Tri Dharma dapat ditempuh dengan mobil dalam tempo sekitar 20 menit dari pusat Kota Singkawang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Bagi para pengunjung yang ingin mengenal lebih dekat tentang agama Budha atau Vihara Budha Tri Dharma, pengelola menyediakan sejumlah buku secara cuma-cuma. Pengunjung juga bisa menggali informasi lebih jauh tentang Vihara Budha Tri Dharma dengan cara menanyakan kepada pengelola vihara yang juga berperan sebagai pemandu selama mengunjungi di Vihara Budha Tri Dharma.
Selain pemandu, pengunjung juga bisa “berebut berkah” dengan meminum air yang telah diberkahi oleh Budha Cikung. Menurut penuturan pengelola Vihara Budha Tri Dharma, air ini bisa menyembuhkan penyakit atau memperpanjang usia.
Vihara Cikung tidak hanya dijadikan tempat beribadah umat Budha. Vihara ini juga sekaligus dijadikan sebagai Panti Wreda “Sinar Abadi”. Baik Vihara Cikung maupun Panti Wreda “Sinar Abadi” berada di bawah Yayasan Dharma Budha Cikung.
Istana Amantubillah
Kabupaten Pontianak
A. Selayang Pandang
Istana Amantubillah adalah nama istana dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Kata amantubillah berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku beriman kepada Allah”. Nama istana tersebut mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan betapa kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang Melayu.
Kesultanan Mempawah mulai dikenal pascakedatangan rombongan Opu Daeng Menambun dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah—lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa hendak dikata, pada tahun 1880 M istana tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, sultan ke-9. Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik yang bergelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamuddin, sultan ke-11, naik tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, sebagai sultan ke-13.
B. Keistimewaan
Sejuk dan artistik. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika mengunjungi Istana Amantubillah. Rumputnya yang hijau, pepohonan palem yang berjajar rapi, serta berbagai jenis bunga yang tertata dengan baik kian menguatkan kesan tersebut. Apalagi kondisi fisik bangunan istana yang didominasi warna hijau muda tersebut masih terlihat bagus dengan dukungan ornamen-ornamen khas Melayu.
Di halaman istana, pengunjung dapat melihat alun-alun yang berumput hijau dan Masjid Jami‘atul Khair, masjid Kesultanan Mempawah, yang berdiri anggun.
Bangunan Istana Amantubillah terdiri dari tiga bagian. Bangunan utamanya terletak di tengah-tengah, sedangkan bangunan pendukungnya berada di sayap kanan dan kiri. Bangunan utama ini dahulunya merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri, serta tempat tinggal sultan beserta keluarganya. Di ruangan ini pengunjung dapat melihat foto-foto sultan beserta keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan. Bangunan sayap kanan istana dahulunya digunakan sebagai tempat mempersiapkan keperluan dan tempat jamuan makan keluarga istana. Sekarang, bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat istana. Sedangkan bangunan sayap kiri istana difungsikan sebagai pendopo istana. Bangunan tersebut dahulunya digunakan sebagai aula dan tempat mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian sultan beserta keluarganya. Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah.
Selain itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) sultan beserta keluarganya.
C. Lokasi
Istana Amantubillah terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kota Mempawah berjarak sekitar 67 kilometer di sebelah utara Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus Pontianak, pengunjung dapat naik taksi, travel, dan bus sampai Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Mempawah, Istana Amantubillah berjarak sekitar 10 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Pengunjung dapat mengakses istana yang berada di sekitar kawasan Sebukit Rama tersebut dengan menggunakan bus atau minibus.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar Istana Amantubillah terdapat fasilitas, seperti masjid, tempat penginapan, warung makan, dan kios wartel. Di samping itu, jalan menuju istana ini sudah beraspal mulus, sehingga memudahkan pengunjung yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat untuk mengaksesnya.
Kabupaten Pontianak
A. Selayang Pandang
Istana Amantubillah adalah nama istana dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Kata amantubillah berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku beriman kepada Allah”. Nama istana tersebut mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan betapa kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang Melayu.
Kesultanan Mempawah mulai dikenal pascakedatangan rombongan Opu Daeng Menambun dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah—lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa hendak dikata, pada tahun 1880 M istana tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, sultan ke-9. Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik yang bergelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamuddin, sultan ke-11, naik tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, sebagai sultan ke-13.
B. Keistimewaan
Sejuk dan artistik. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika mengunjungi Istana Amantubillah. Rumputnya yang hijau, pepohonan palem yang berjajar rapi, serta berbagai jenis bunga yang tertata dengan baik kian menguatkan kesan tersebut. Apalagi kondisi fisik bangunan istana yang didominasi warna hijau muda tersebut masih terlihat bagus dengan dukungan ornamen-ornamen khas Melayu.
Di halaman istana, pengunjung dapat melihat alun-alun yang berumput hijau dan Masjid Jami‘atul Khair, masjid Kesultanan Mempawah, yang berdiri anggun.
Bangunan Istana Amantubillah terdiri dari tiga bagian. Bangunan utamanya terletak di tengah-tengah, sedangkan bangunan pendukungnya berada di sayap kanan dan kiri. Bangunan utama ini dahulunya merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri, serta tempat tinggal sultan beserta keluarganya. Di ruangan ini pengunjung dapat melihat foto-foto sultan beserta keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan. Bangunan sayap kanan istana dahulunya digunakan sebagai tempat mempersiapkan keperluan dan tempat jamuan makan keluarga istana. Sekarang, bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat istana. Sedangkan bangunan sayap kiri istana difungsikan sebagai pendopo istana. Bangunan tersebut dahulunya digunakan sebagai aula dan tempat mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian sultan beserta keluarganya. Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah.
Selain itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) sultan beserta keluarganya.
C. Lokasi
Istana Amantubillah terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kota Mempawah berjarak sekitar 67 kilometer di sebelah utara Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus Pontianak, pengunjung dapat naik taksi, travel, dan bus sampai Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Mempawah, Istana Amantubillah berjarak sekitar 10 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Pengunjung dapat mengakses istana yang berada di sekitar kawasan Sebukit Rama tersebut dengan menggunakan bus atau minibus.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar Istana Amantubillah terdapat fasilitas, seperti masjid, tempat penginapan, warung makan, dan kios wartel. Di samping itu, jalan menuju istana ini sudah beraspal mulus, sehingga memudahkan pengunjung yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat untuk mengaksesnya.
Rumah Adat Melayu Ketapang
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Ketapang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang menyimpan banyak potensi wisata. Selain pantai, keraton, dan makam, di Ketapang juga berdiri Rumah Adat Melayu sebagai salah satu obyek wisata minat khusus.
Dilihat secara fisik, Rumah Adat Melayu Ketapang terdiri dari tiga bangunan utama, yaitu bangunan induk yang berukuran 20 x 30 meter, bangunan Balai Rung Sari yang berukuran 9 x 15 meter dan Balai Peranginan yang berukuran 6 x 30 meter. Ketiga bangunan tersebut didirikan di atas tanah seluas 2 hektar.
Rumah Adat Melayu Ketapang adalah saksi bisu sejarah perkembangan kebudayaan Melayu. Di tempat inilah, pada tanggal 29 Mei 2009 dilakukan pendeklarasian dan pelantikan pengurus Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS).
Rumah Adat Melayu Ketapang didirikan dengan tujuan untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang ada dan sekaligus untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adat budaya Melayu Ketapang. Selain itu, tujuan dari dibangunnya Rumah Adat Melayu Ketapang ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada generasi muda tentang adat budaya Melayu Ketapang yang sebenarnya.
Tujuan tersebut memiliki dua sisi, yaitu sisi budaya dan pariwisata. Dilihat dari sisi budaya, upaya untuk melestarikan dan memberikan pengetahuan kepada generasi muda praktis bisa tercapai dengan dibangunnya Rumah adat Melayu Ketapang yang mencirikan arsitektur Melayu Islam.
Dari sisi pariwisata, Rumah Adat Melayu Ketapang menawarkan daya tarik sebagai tujuan wisata di Kabupaten Ketapang. Buktinya, banyak anak muda yang berkunjung ke tempat ini. Selain menikmati keindahan panorama dan kemegahan Rumah Adat Melayu Ketapang, banyak anak muda yang memanfaatkan tanah di sekitar Rumah Adat Melayu Ketapang untuk menyalurkan hobi mereka.
Beberapa sarana olahraga akhirnya dibangun di tempat ini. Sebut saja lapangan voli dan tempat pembuatan sekaligus penyimpanan (garasi) sampan yang biasanya digunakan untuk lomba sampan.
B. Keistimewaan
Rumah Adat Melayu Ketapang dibangun dengan bahan baku dari kayu belian (ulin). Kayu-kayu ini didatangkan dari HPH “Alas Kusuma”. Selain tiang penyangga rumah dan tangga, seluruh lantai serta dindingnya dibuat dengan menggunakan kayu belian.
Rumah Adat Melayu Ketapang ini disangga dengan fondasi yang terbuat dari kayu belian. Fondasi dasar dibuat dengan kayu ulin sebanyak 180 batang dengan ukuran 20 x 20 cm dan tinggi 1 meter. Fondasi tersebut kemudian ditimbun dengan pasir yang dipompa dari sungai Pawan. Hal ini diperlukan karena lokasi tempat Rumah Adat Melayu Ketapang dibangun ini dulunya adalah rawa-rawa sehingga diperlukan proses pemadatan tanah.
Fondasi kedua juga terbuat dari kayu belian dengan ukuran yang sama dengan tinggi 2 m. Fondasi kedua ditutup dengan papan kayu belian, kemudian baru dibangun tiang-tiang untuk menyangga dinding dan atap bangunan.
C. Lokasi
Rumah Adat Melayu Ketapang terletak di Kelurahan Mulia Baru, Kecamatan Delta Pawan, kira-kira 2 km dari pusat kota Ketapang.
D. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya (gratis).
E. Akses
Pengunjung yang akan menikmati obyek wisata berupa Rumah Adat Melayu Ketapang dapat menempuh perjalanan dengan menggunakan kendaraan beroda 4 atau 2 dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dari kota Ketapang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Rumah Adat Melayu Ketapang menyediakan panorama yang eksotis. Rumah yang terletak di pinggir sungai Pawan ini memberikan pandangan langsung ke arah sungai yang sedap dipandang.
Bagi para pengunjung yang datang secara rombongan, menggunakan mobil pribadi, maupun motor, di Rumah Adat Melayu Ketapang disediakan halaman (untuk parkir) yang sangat luas. Selain itu, akses menuju lokasi juga telah dibuatkan jalan yang mulus beraspal.
Bagi para pengunjung yang ingin mendapatkan pengalaman wisata air, di sekitar Rumah Adat Melayu Ketapang juga dibangun sebuah dermaga kecil untuk duduk-duduk sambil menikmati keindahan sungai Pawan.
Selain itu, beberapa sarana olahraga juga dibangun di sekitar Rumah Adat Melayu Ketapang, seperti lapangan voli. Bahkan, tak jauh dari Rumah Adat Melayu Ketapang juga dibangun sebuah bengkel untuk membuat dan memperbaiki sekaligus sebagai tempat penyimpanan (garasi) sampan. Sampan inilah yang biasanya dipakai dalam beberapa perlombaan sampan tradisional.
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Ketapang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang menyimpan banyak potensi wisata. Selain pantai, keraton, dan makam, di Ketapang juga berdiri Rumah Adat Melayu sebagai salah satu obyek wisata minat khusus.
Dilihat secara fisik, Rumah Adat Melayu Ketapang terdiri dari tiga bangunan utama, yaitu bangunan induk yang berukuran 20 x 30 meter, bangunan Balai Rung Sari yang berukuran 9 x 15 meter dan Balai Peranginan yang berukuran 6 x 30 meter. Ketiga bangunan tersebut didirikan di atas tanah seluas 2 hektar.
Rumah Adat Melayu Ketapang adalah saksi bisu sejarah perkembangan kebudayaan Melayu. Di tempat inilah, pada tanggal 29 Mei 2009 dilakukan pendeklarasian dan pelantikan pengurus Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS).
Rumah Adat Melayu Ketapang didirikan dengan tujuan untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang ada dan sekaligus untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adat budaya Melayu Ketapang. Selain itu, tujuan dari dibangunnya Rumah Adat Melayu Ketapang ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada generasi muda tentang adat budaya Melayu Ketapang yang sebenarnya.
Tujuan tersebut memiliki dua sisi, yaitu sisi budaya dan pariwisata. Dilihat dari sisi budaya, upaya untuk melestarikan dan memberikan pengetahuan kepada generasi muda praktis bisa tercapai dengan dibangunnya Rumah adat Melayu Ketapang yang mencirikan arsitektur Melayu Islam.
Dari sisi pariwisata, Rumah Adat Melayu Ketapang menawarkan daya tarik sebagai tujuan wisata di Kabupaten Ketapang. Buktinya, banyak anak muda yang berkunjung ke tempat ini. Selain menikmati keindahan panorama dan kemegahan Rumah Adat Melayu Ketapang, banyak anak muda yang memanfaatkan tanah di sekitar Rumah Adat Melayu Ketapang untuk menyalurkan hobi mereka.
Beberapa sarana olahraga akhirnya dibangun di tempat ini. Sebut saja lapangan voli dan tempat pembuatan sekaligus penyimpanan (garasi) sampan yang biasanya digunakan untuk lomba sampan.
B. Keistimewaan
Rumah Adat Melayu Ketapang dibangun dengan bahan baku dari kayu belian (ulin). Kayu-kayu ini didatangkan dari HPH “Alas Kusuma”. Selain tiang penyangga rumah dan tangga, seluruh lantai serta dindingnya dibuat dengan menggunakan kayu belian.
Rumah Adat Melayu Ketapang ini disangga dengan fondasi yang terbuat dari kayu belian. Fondasi dasar dibuat dengan kayu ulin sebanyak 180 batang dengan ukuran 20 x 20 cm dan tinggi 1 meter. Fondasi tersebut kemudian ditimbun dengan pasir yang dipompa dari sungai Pawan. Hal ini diperlukan karena lokasi tempat Rumah Adat Melayu Ketapang dibangun ini dulunya adalah rawa-rawa sehingga diperlukan proses pemadatan tanah.
Fondasi kedua juga terbuat dari kayu belian dengan ukuran yang sama dengan tinggi 2 m. Fondasi kedua ditutup dengan papan kayu belian, kemudian baru dibangun tiang-tiang untuk menyangga dinding dan atap bangunan.
C. Lokasi
Rumah Adat Melayu Ketapang terletak di Kelurahan Mulia Baru, Kecamatan Delta Pawan, kira-kira 2 km dari pusat kota Ketapang.
D. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya (gratis).
E. Akses
Pengunjung yang akan menikmati obyek wisata berupa Rumah Adat Melayu Ketapang dapat menempuh perjalanan dengan menggunakan kendaraan beroda 4 atau 2 dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dari kota Ketapang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Rumah Adat Melayu Ketapang menyediakan panorama yang eksotis. Rumah yang terletak di pinggir sungai Pawan ini memberikan pandangan langsung ke arah sungai yang sedap dipandang.
Bagi para pengunjung yang datang secara rombongan, menggunakan mobil pribadi, maupun motor, di Rumah Adat Melayu Ketapang disediakan halaman (untuk parkir) yang sangat luas. Selain itu, akses menuju lokasi juga telah dibuatkan jalan yang mulus beraspal.
Bagi para pengunjung yang ingin mendapatkan pengalaman wisata air, di sekitar Rumah Adat Melayu Ketapang juga dibangun sebuah dermaga kecil untuk duduk-duduk sambil menikmati keindahan sungai Pawan.
Selain itu, beberapa sarana olahraga juga dibangun di sekitar Rumah Adat Melayu Ketapang, seperti lapangan voli. Bahkan, tak jauh dari Rumah Adat Melayu Ketapang juga dibangun sebuah bengkel untuk membuat dan memperbaiki sekaligus sebagai tempat penyimpanan (garasi) sampan. Sampan inilah yang biasanya dipakai dalam beberapa perlombaan sampan tradisional.
Rumah Melayu Kalimatan Barat
Kota Pontianak
A. Selayang Pandang
Pada tanggal 17 Mei 2003, tiang pertama Rumah Melayu Kalimantan Barat (Kalbar) ditancapkan. Dalam sambutannya, Gubernur Kalimantan Barat, Usman Ja‘far, menyampaikan petuah dan segunung harapan. Dua tahun kemudian, 9 November 2005, rumah idaman orang Melayu dan simbol kejayaan tamaddun Melayu di bumi Borneo itu diresmikan oleh Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Ada kebanggaan yang terpatri dan setumpuk harapan sejak rumah Melayu ini diresmikan. Mulai gagasan menjadikannya sebagai "Center of the Malay Culture" atau pusat kebudayaan Melayu di daerah Kalimantan Barat, hingga harapan mampu menjadi objek wisata andalan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Memang, harapan di atas tidak terlampau berlebihan, setidaknya jika kita melihat kemegahan bangunan hasil rekagrafis Ir. Ari Januarif ini. Jika rumah ini dianggap sebagai representasi rumah Melayu, mungkin kita tak bisa memikirkan rumah Melayu mana yang semegah dan semewah ini. Bahkan jauh lebih besar dan megah dibanding dengan istana-istana kerajaan Melayu di Kalbar, seperti Istana Kadriah di Pontianak, Istana Amantubillah di Mempawah, maupun Istana Al Watzikubillah di Sambas.
Sejak diresmikan, Rumah Melayu Kalimantan Barat ini telah dikunjungi banyak wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Selain itu, setiap event penting terkait dengan cita-cita mengabadikan kejayaan tamaddun Melayu juga diselenggarakan di rumah ini, misalnya sebagai tempat musyawarah Majlis Adat Budaya Melayu (MABM), pameran-pameran kebudayaan Melayu, dan lain-lain.
B. Keistimewaan
Keistimewaan yang paling tampak dari bangunan Rumah Melayu Kalbar adalah kemegahan arsitektur dan kelengkapan fasilitas-fasilitas yang dimilikinya. Bahan bangunannya terbuat dari kayu pilihan, aulanya luas, lantainya licin dan mengkilap, panggungnya besar dan kokoh, serta lampu hiasnya yang nampak indah. Rumah ini memang memiliki hampir semua syarat untuk dapat menjadi sebuah pusat kebudayaan. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 1,4 hektar ini terdiri atas 7 bagian bangunan, yaitu: Balairung (tempat pameran dan pertemuan), Balai Kerja (sekretariat pertemuan), Balai Rakyat (taman bermain dan kios penjualan), Balai Pustaka (tempat kajian budaya dan perpustakaan), Balai Budaya (ruang pertemuan, sanggar tertutup, dan ruang pengelola), Panggung Terbuka (ruang persidangan, amphitheatre, dan gudang), serta Pesanggrahan (penginapan, pertemuan, klinik kesehatan, dan tempat pelatihan).
Meskipun terlihat sangat modern, rumah Melayu ini tetap mengakomodir gaya arsitektur rumah-rumah Melayu di Kalimantan Barat pada umumnya, yaitu berbentuk rumah panggung, memiliki teras yang luas, dan memiliki tangga yang banyak. Bentuk panggung dengan tangga yang tinggi dan banyak bukan tanpa alasan. Dalam wilayah yang beriklim tropis, kolong di bawah panggung dimaksudkan sebagai penyerap panas agar tidak langsung naik ke rumah.
Atap bangunan rumah Melayu di Kalimantan Barat diduga mendapat pengaruh dari bentuk atap bangunan di Jawa. Model atap segitiga ini memiliki derajat ketinggian maksimal 30 derajat, dimaksudkan agar udara panas terperangkap ke bawah atap lebih dulu dan tidak langsung mencapai bagian dalam rumah. Kolong tinggi di bagian bawah dan atap segitiga di bagian atas merupakan wujud keistimewaan arsitektur rumah Melayu dalam beradaptasi dengan iklim tropis. Hal ini adalah bagian dari kebijakan orang-orang Melayu zaman dulu, yang tidak hanya mementingkan bentuk, tetapi juga mempertimbangkan fungsi dari tiap-tiap bagian bangunan.
C. Lokasi
Rumah Melayu Kalimantan Barat terletak di Jl. Sutan Syahrir, Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya alias gratis.
E. Akses
Rumah Melayu Kalimantan Barat tidak terlalu sulit untuk diakses. Dari Bandara Supodio, Pontianak, Kalimantan Barat, perjalanan berjarak sekitar 20 km atau membutuhkan waktu kurang lebih 25 menit dapat ditempuh dengan taksi atau menggunakan mobil sewaan.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Rumah Melayu Kalimantan Barat dilengkapi dengan fasilitas dan sarana akomodasi yang cukup lengkap, seperti penginapan, ruang pertemuan, perpustakaan, arena bermaian, dan area parkir yang luas. Tak jauh dari lokasi rumah Melayu ini, pengunjung juga dapat menjumpai sarana akomodasi dan fasilitas-fasilitas yang terbilang lengkap, seperti hotel, restoran, bank, ATM, SPBU, mal, dan lain-lain.
Kota Pontianak
A. Selayang Pandang
Pada tanggal 17 Mei 2003, tiang pertama Rumah Melayu Kalimantan Barat (Kalbar) ditancapkan. Dalam sambutannya, Gubernur Kalimantan Barat, Usman Ja‘far, menyampaikan petuah dan segunung harapan. Dua tahun kemudian, 9 November 2005, rumah idaman orang Melayu dan simbol kejayaan tamaddun Melayu di bumi Borneo itu diresmikan oleh Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Ada kebanggaan yang terpatri dan setumpuk harapan sejak rumah Melayu ini diresmikan. Mulai gagasan menjadikannya sebagai "Center of the Malay Culture" atau pusat kebudayaan Melayu di daerah Kalimantan Barat, hingga harapan mampu menjadi objek wisata andalan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Memang, harapan di atas tidak terlampau berlebihan, setidaknya jika kita melihat kemegahan bangunan hasil rekagrafis Ir. Ari Januarif ini. Jika rumah ini dianggap sebagai representasi rumah Melayu, mungkin kita tak bisa memikirkan rumah Melayu mana yang semegah dan semewah ini. Bahkan jauh lebih besar dan megah dibanding dengan istana-istana kerajaan Melayu di Kalbar, seperti Istana Kadriah di Pontianak, Istana Amantubillah di Mempawah, maupun Istana Al Watzikubillah di Sambas.
Sejak diresmikan, Rumah Melayu Kalimantan Barat ini telah dikunjungi banyak wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Selain itu, setiap event penting terkait dengan cita-cita mengabadikan kejayaan tamaddun Melayu juga diselenggarakan di rumah ini, misalnya sebagai tempat musyawarah Majlis Adat Budaya Melayu (MABM), pameran-pameran kebudayaan Melayu, dan lain-lain.
B. Keistimewaan
Keistimewaan yang paling tampak dari bangunan Rumah Melayu Kalbar adalah kemegahan arsitektur dan kelengkapan fasilitas-fasilitas yang dimilikinya. Bahan bangunannya terbuat dari kayu pilihan, aulanya luas, lantainya licin dan mengkilap, panggungnya besar dan kokoh, serta lampu hiasnya yang nampak indah. Rumah ini memang memiliki hampir semua syarat untuk dapat menjadi sebuah pusat kebudayaan. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 1,4 hektar ini terdiri atas 7 bagian bangunan, yaitu: Balairung (tempat pameran dan pertemuan), Balai Kerja (sekretariat pertemuan), Balai Rakyat (taman bermain dan kios penjualan), Balai Pustaka (tempat kajian budaya dan perpustakaan), Balai Budaya (ruang pertemuan, sanggar tertutup, dan ruang pengelola), Panggung Terbuka (ruang persidangan, amphitheatre, dan gudang), serta Pesanggrahan (penginapan, pertemuan, klinik kesehatan, dan tempat pelatihan).
Meskipun terlihat sangat modern, rumah Melayu ini tetap mengakomodir gaya arsitektur rumah-rumah Melayu di Kalimantan Barat pada umumnya, yaitu berbentuk rumah panggung, memiliki teras yang luas, dan memiliki tangga yang banyak. Bentuk panggung dengan tangga yang tinggi dan banyak bukan tanpa alasan. Dalam wilayah yang beriklim tropis, kolong di bawah panggung dimaksudkan sebagai penyerap panas agar tidak langsung naik ke rumah.
Atap bangunan rumah Melayu di Kalimantan Barat diduga mendapat pengaruh dari bentuk atap bangunan di Jawa. Model atap segitiga ini memiliki derajat ketinggian maksimal 30 derajat, dimaksudkan agar udara panas terperangkap ke bawah atap lebih dulu dan tidak langsung mencapai bagian dalam rumah. Kolong tinggi di bagian bawah dan atap segitiga di bagian atas merupakan wujud keistimewaan arsitektur rumah Melayu dalam beradaptasi dengan iklim tropis. Hal ini adalah bagian dari kebijakan orang-orang Melayu zaman dulu, yang tidak hanya mementingkan bentuk, tetapi juga mempertimbangkan fungsi dari tiap-tiap bagian bangunan.
C. Lokasi
Rumah Melayu Kalimantan Barat terletak di Jl. Sutan Syahrir, Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya alias gratis.
E. Akses
Rumah Melayu Kalimantan Barat tidak terlalu sulit untuk diakses. Dari Bandara Supodio, Pontianak, Kalimantan Barat, perjalanan berjarak sekitar 20 km atau membutuhkan waktu kurang lebih 25 menit dapat ditempuh dengan taksi atau menggunakan mobil sewaan.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Rumah Melayu Kalimantan Barat dilengkapi dengan fasilitas dan sarana akomodasi yang cukup lengkap, seperti penginapan, ruang pertemuan, perpustakaan, arena bermaian, dan area parkir yang luas. Tak jauh dari lokasi rumah Melayu ini, pengunjung juga dapat menjumpai sarana akomodasi dan fasilitas-fasilitas yang terbilang lengkap, seperti hotel, restoran, bank, ATM, SPBU, mal, dan lain-lain.
Masjid Jami` Sultan Abdurrahman
Kota Pontianak
A. Selayang Pandang
Konon, sebelum Habib Husein Alkadri bertolak dari Hadramaut, Yaman Selatan, menuju kawasan timur, gurunya berwasiat supaya mencari permukiman yang berada di pinggir sungai yang masih ditumbuhi pepohonan hijau. Ketika diangkat menjadi hakim agama Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah, beliau pun meminta kepada kedua sultan dari kerajaan-kerajaan tersebut untuk dibuatkan sebuah permukiman seperti yang diwasiatkan gurunya.
Pada tahun 1770 M, Habib Husein Alkadri wafat di Kerajaan Mempawah. Tiga bulan kemudian, anak beliau yang bernama Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya, sepakat untuk meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mencari daerah permukiman baru. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M (24 Rajab 1181 H), rombongan Syarif Abdurrahman menemukan lokasi yang sesuai di delta Sungai Kapuas Kecil, Sungai Landak, dan Sungai Kapuas. Setelah delapan hari bekerja menebas hutan, rombongan ini lalu mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar.
Seiring dengan pesatnya perkembangan kawasan tersebut, lambat-laun langgar sederhana itu pun kemudian berubah menjadi masjid. Sultan Syarif Usman (1819-1855 M), sultan ke-3 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang pertama kali meletakkan fondasi bangunan masjid sekitar tahun 1821 M/1237 H. Bukti bahwa masjid tersebut dibangun oleh Sultan Syarif Usman dapat dilihat pada inskripsi huruf Arab yang terdapat di atas mimbar masjid yang menerangkan bahwa Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharam tahun 1237 Hijriah. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya seperti yang sekarang ini.
Untuk menghormati jasa Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri, pendiri Kota Pontianak dan sultan pertama Kesultanan Pontianak, masjid yang berada di sebelah barat Istana Kadriah itu pun diberi nama Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman.
B. Keistimewaan
Masjid yang memiliki panjang 33,27 meter dan lebar 27,74 meter ini merupakan masjid tertua dan terbesar di Pontianak. Masjid yang undak (seperti tajug ala arsitektur Jawa) paling atasnya mirip mahkota atau genta besar khas arsitektur Eropa ini menjadi saksi sejarah perubahan demi perubahan yang terjadi di Kota Pontianak dan sekitarnya.
Mayoritas konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian pilihan. Dominasi kayu belian masih dapat dilihat pada pagar, lantai, dinding, menara, dan sebuah bedug besar yang terdapat di serambi masjid. Enam tonggak utama (soko guru) penyangga ruangan masjid yang berdiameter 60 sentimeter juga terbuat dari kayu belian. Konon, tonggak-tonggak tersebut telah berusia lebih dari 170 tahun. Selain enam tonggak utama, terdapat empat belas tiang pembantu yang berfungsi sebagai penyangga ruangan masjid.
Pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada pintu dan jendela masjid yang cukup besar, sedangkan pengaruh Timur Tengah terlihat pada mimbarnya yang berbentuk kubah.
Seperti bangunan rumah Melayu pada umumnya, masjid ini juga memiliki kolong di bawah lantainya. Meski persis berada di atas air Sungai Kapuas, masjid ini tidak pernah kebanjiran karena fondasi masjid berjarak sekitar satu setengah meter di atas permukaan tanah.
C. Lokasi
Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman terletak di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Masjid ini hanya berjarak sekitar 200 meter di sebelah barat Istana Kadriah.
D. Akses
Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman berada di dekat pusat Kota Pontianak. Lokasi masjid dapat dijangkau melalui jalur sungai dan jalur darat. Pengunjung yang memilih jalur sungai dapat mengaksesnya dengan menggunakan sampan atau speed boat dari Pelabuhan Senghie, sedangkan pengunjung yang menggunakan jalur darat dapat naik bus yang melewati jembatan Sungai Kapuas.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di kawasan Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman terdapat pramuwisata, pendopo tempat istirahat, dan toilet. Di sekitar kawasan tersebut juga terdapat restoran terapung, warung makan, kios wartel, voucher isi ulang pulsa, sentra oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan sampan dan speed boat untuk mengelilingi kawasan masjid.
Kota Pontianak
A. Selayang Pandang
Konon, sebelum Habib Husein Alkadri bertolak dari Hadramaut, Yaman Selatan, menuju kawasan timur, gurunya berwasiat supaya mencari permukiman yang berada di pinggir sungai yang masih ditumbuhi pepohonan hijau. Ketika diangkat menjadi hakim agama Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah, beliau pun meminta kepada kedua sultan dari kerajaan-kerajaan tersebut untuk dibuatkan sebuah permukiman seperti yang diwasiatkan gurunya.
Pada tahun 1770 M, Habib Husein Alkadri wafat di Kerajaan Mempawah. Tiga bulan kemudian, anak beliau yang bernama Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya, sepakat untuk meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mencari daerah permukiman baru. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M (24 Rajab 1181 H), rombongan Syarif Abdurrahman menemukan lokasi yang sesuai di delta Sungai Kapuas Kecil, Sungai Landak, dan Sungai Kapuas. Setelah delapan hari bekerja menebas hutan, rombongan ini lalu mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar.
Seiring dengan pesatnya perkembangan kawasan tersebut, lambat-laun langgar sederhana itu pun kemudian berubah menjadi masjid. Sultan Syarif Usman (1819-1855 M), sultan ke-3 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang pertama kali meletakkan fondasi bangunan masjid sekitar tahun 1821 M/1237 H. Bukti bahwa masjid tersebut dibangun oleh Sultan Syarif Usman dapat dilihat pada inskripsi huruf Arab yang terdapat di atas mimbar masjid yang menerangkan bahwa Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharam tahun 1237 Hijriah. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya seperti yang sekarang ini.
Untuk menghormati jasa Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri, pendiri Kota Pontianak dan sultan pertama Kesultanan Pontianak, masjid yang berada di sebelah barat Istana Kadriah itu pun diberi nama Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman.
B. Keistimewaan
Masjid yang memiliki panjang 33,27 meter dan lebar 27,74 meter ini merupakan masjid tertua dan terbesar di Pontianak. Masjid yang undak (seperti tajug ala arsitektur Jawa) paling atasnya mirip mahkota atau genta besar khas arsitektur Eropa ini menjadi saksi sejarah perubahan demi perubahan yang terjadi di Kota Pontianak dan sekitarnya.
Mayoritas konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian pilihan. Dominasi kayu belian masih dapat dilihat pada pagar, lantai, dinding, menara, dan sebuah bedug besar yang terdapat di serambi masjid. Enam tonggak utama (soko guru) penyangga ruangan masjid yang berdiameter 60 sentimeter juga terbuat dari kayu belian. Konon, tonggak-tonggak tersebut telah berusia lebih dari 170 tahun. Selain enam tonggak utama, terdapat empat belas tiang pembantu yang berfungsi sebagai penyangga ruangan masjid.
Pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada pintu dan jendela masjid yang cukup besar, sedangkan pengaruh Timur Tengah terlihat pada mimbarnya yang berbentuk kubah.
Seperti bangunan rumah Melayu pada umumnya, masjid ini juga memiliki kolong di bawah lantainya. Meski persis berada di atas air Sungai Kapuas, masjid ini tidak pernah kebanjiran karena fondasi masjid berjarak sekitar satu setengah meter di atas permukaan tanah.
C. Lokasi
Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman terletak di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Masjid ini hanya berjarak sekitar 200 meter di sebelah barat Istana Kadriah.
D. Akses
Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman berada di dekat pusat Kota Pontianak. Lokasi masjid dapat dijangkau melalui jalur sungai dan jalur darat. Pengunjung yang memilih jalur sungai dapat mengaksesnya dengan menggunakan sampan atau speed boat dari Pelabuhan Senghie, sedangkan pengunjung yang menggunakan jalur darat dapat naik bus yang melewati jembatan Sungai Kapuas.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di kawasan Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman terdapat pramuwisata, pendopo tempat istirahat, dan toilet. Di sekitar kawasan tersebut juga terdapat restoran terapung, warung makan, kios wartel, voucher isi ulang pulsa, sentra oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan sampan dan speed boat untuk mengelilingi kawasan masjid.
Istana Muliakarta
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Istana Muliakarta merupakan Istana Kesultanan Tanjungpura/Kesultanan Matan, kesultanan tertua yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat. Dinamakan Istana Muliakarta karena istana ini berada di dalam wilayah administratif Desa Muliakarta. Selain itu, istana ini juga dikenal dengan nama Istana Panembahan Gusti Muhammad Saunan, yang diambil dari nama salah seorang sultannya yang terkenal dengan kewibawaan dan kecerdasannya.
Istana Muliakarta pertama kali dibangun oleh Pangeran Perdana Menteri yang bergelar Haji Muhammad Sabran, sultan ke-14 Kesultanan Tanjungpura, yang bertahta dari tahun 1845 sampai dengan tahun 1924. Namun, istana ini terus mengalami renovasi dan rekonstruksi beberapa kali, sehingga menjadi seperti yang terlihat sekarang ini. Panembahan Gusti Muhammad Saunan (1908-1944), sultan ke-16, adalah sultan yang merombak istana tersebut secara besar-besaran. Panembahan Saunan mengganti arsitektur Istana Muliakarta dengan gaya arsitektur Eropa karena beliau pernah studi di Belanda dan tinggal cukup lama di Negeri Kincir Angin tersebut.
Keberadaan Istana Muliakarta tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Kesultanan Tanjungpura yang senantiasa berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Akibatnya, Istana Kesultanan Tanjungpura pun tersebar di berbagai daerah di Kalimantan Barat. Selain di Muliakarta, istana kesultanan ini juga terdapat di Sukadana, Tanjungpura, Matan, dan Indralaya. Namun, hanya sebagian kecil saja dari istana-istana tersebut yang masih utuh dan dapat dilihat sampai hari ini.
B. Keistimewaan
Keanggunan istana yang mayoritas konstruksi bangunannya terbuat dari kayu belian/ulin (euderoxylon zwageri) ini sudah dapat dilihat dan dirasakan dari jauh. Warna kuning yang mendominasi bangunannya menjadikan istana tersebut kian anggun dipandang mata. Dalam tradisi masyarakat Melayu, warna kuning merupakan lambang kewibawaan dan keluhuran budi pekerti.
Gapuranya yang artistik dan cantik dengan dominasi warna kuning seakan memberi tanda kepada pengunjung, bahwa istana ini dibangun dengan konsep yang matang dan melalui serentetan perenungan yang mendalam, sehingga istana ini sarat dengan makna filosofis. Gapura tersebut juga merupakan simbol keramahan segenap penghuni istana dan sekaligus menandakan bahwa istana tersebut terbuka bagi semua kalangan.
Suasana sejuk dan damai sudah terasa begitu menginjakkan kaki di kompleks istana. Bunga-bunga yang tertata rapi dalam jambangan dan aneka pohon yang tumbuh di sekeliling istana memperlihatkan penghuninya punya komitmen hidup selaras dengan alam.
Di sebelah kiri jalan masuk, terdapat sebuah menara yang dahulunya berfungsi sebagai pos penjagaan istana. Meriam Padam Pelita, salah satu senjata peninggalan kesultanan, terdapat di halaman istana. Pada bumbungan atap bagian depan istana, terpampang mahkota kerajaan yang berukiran detail dan artistik.
Di ruangan dalam istana, terdapat balai pertemuan (balairung), kantor tempat kerja sultan, dan tiga kamar yang dahulunya digunakan sebagai tempat tinggal sultan bersama keluarganya. Berbagai koleksi istana, seperti singgasana sultan dan permaisurinya, foto sultan dan keluarganya, kain tenun khas kerajaan, tempat tidur Panembahan Gusti Muhammad Saunan, aneka batik kuno, serta benda-benda dan peralatan-peralatan peninggalan Kesultanan Tanjungpura lainnya, tersimpan dengan baik di dalam istana.
Pada sore hari, pengunjung akan berdecak kagum dengan pesona Istana Muliakarta yang eksotik, apalagi dilihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-lahan di atas Sungai Pawan yang tenang.
C. Lokasi
Istana Muliakarta terletak di Desa Muliakarta, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kabupaten Ketapang berada di sebelah selatan Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak menuju Ketapang, pengunjung dapat naik kapal laut ekspres dengan waktu tempuh sekitar 7 jam.
Dari pusat Kota Ketapang, Istana Muliakarta berjarak sekitar 10 kilometer. Pengunjung mudah mengaksesnya dengan menggunakan bus, angkutan kota, atau kendaraan pribadi.
E. Harga Tiket
Masih dalam proses konfirmasi.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar kawasan Istana Muliakarta terdapat berbagai fasilitas, seperti masjid, warung makan, pramuwisata, kios wartel, voucher isi ulang pulsa, sentra oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan sampan dan speed boat untuk mengelilingi kawasan istana.
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Istana Muliakarta merupakan Istana Kesultanan Tanjungpura/Kesultanan Matan, kesultanan tertua yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat. Dinamakan Istana Muliakarta karena istana ini berada di dalam wilayah administratif Desa Muliakarta. Selain itu, istana ini juga dikenal dengan nama Istana Panembahan Gusti Muhammad Saunan, yang diambil dari nama salah seorang sultannya yang terkenal dengan kewibawaan dan kecerdasannya.
Istana Muliakarta pertama kali dibangun oleh Pangeran Perdana Menteri yang bergelar Haji Muhammad Sabran, sultan ke-14 Kesultanan Tanjungpura, yang bertahta dari tahun 1845 sampai dengan tahun 1924. Namun, istana ini terus mengalami renovasi dan rekonstruksi beberapa kali, sehingga menjadi seperti yang terlihat sekarang ini. Panembahan Gusti Muhammad Saunan (1908-1944), sultan ke-16, adalah sultan yang merombak istana tersebut secara besar-besaran. Panembahan Saunan mengganti arsitektur Istana Muliakarta dengan gaya arsitektur Eropa karena beliau pernah studi di Belanda dan tinggal cukup lama di Negeri Kincir Angin tersebut.
Keberadaan Istana Muliakarta tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Kesultanan Tanjungpura yang senantiasa berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Akibatnya, Istana Kesultanan Tanjungpura pun tersebar di berbagai daerah di Kalimantan Barat. Selain di Muliakarta, istana kesultanan ini juga terdapat di Sukadana, Tanjungpura, Matan, dan Indralaya. Namun, hanya sebagian kecil saja dari istana-istana tersebut yang masih utuh dan dapat dilihat sampai hari ini.
B. Keistimewaan
Keanggunan istana yang mayoritas konstruksi bangunannya terbuat dari kayu belian/ulin (euderoxylon zwageri) ini sudah dapat dilihat dan dirasakan dari jauh. Warna kuning yang mendominasi bangunannya menjadikan istana tersebut kian anggun dipandang mata. Dalam tradisi masyarakat Melayu, warna kuning merupakan lambang kewibawaan dan keluhuran budi pekerti.
Gapuranya yang artistik dan cantik dengan dominasi warna kuning seakan memberi tanda kepada pengunjung, bahwa istana ini dibangun dengan konsep yang matang dan melalui serentetan perenungan yang mendalam, sehingga istana ini sarat dengan makna filosofis. Gapura tersebut juga merupakan simbol keramahan segenap penghuni istana dan sekaligus menandakan bahwa istana tersebut terbuka bagi semua kalangan.
Suasana sejuk dan damai sudah terasa begitu menginjakkan kaki di kompleks istana. Bunga-bunga yang tertata rapi dalam jambangan dan aneka pohon yang tumbuh di sekeliling istana memperlihatkan penghuninya punya komitmen hidup selaras dengan alam.
Di sebelah kiri jalan masuk, terdapat sebuah menara yang dahulunya berfungsi sebagai pos penjagaan istana. Meriam Padam Pelita, salah satu senjata peninggalan kesultanan, terdapat di halaman istana. Pada bumbungan atap bagian depan istana, terpampang mahkota kerajaan yang berukiran detail dan artistik.
Di ruangan dalam istana, terdapat balai pertemuan (balairung), kantor tempat kerja sultan, dan tiga kamar yang dahulunya digunakan sebagai tempat tinggal sultan bersama keluarganya. Berbagai koleksi istana, seperti singgasana sultan dan permaisurinya, foto sultan dan keluarganya, kain tenun khas kerajaan, tempat tidur Panembahan Gusti Muhammad Saunan, aneka batik kuno, serta benda-benda dan peralatan-peralatan peninggalan Kesultanan Tanjungpura lainnya, tersimpan dengan baik di dalam istana.
Pada sore hari, pengunjung akan berdecak kagum dengan pesona Istana Muliakarta yang eksotik, apalagi dilihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-lahan di atas Sungai Pawan yang tenang.
C. Lokasi
Istana Muliakarta terletak di Desa Muliakarta, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kabupaten Ketapang berada di sebelah selatan Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak menuju Ketapang, pengunjung dapat naik kapal laut ekspres dengan waktu tempuh sekitar 7 jam.
Dari pusat Kota Ketapang, Istana Muliakarta berjarak sekitar 10 kilometer. Pengunjung mudah mengaksesnya dengan menggunakan bus, angkutan kota, atau kendaraan pribadi.
E. Harga Tiket
Masih dalam proses konfirmasi.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar kawasan Istana Muliakarta terdapat berbagai fasilitas, seperti masjid, warung makan, pramuwisata, kios wartel, voucher isi ulang pulsa, sentra oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan sampan dan speed boat untuk mengelilingi kawasan istana.
Istana Alwatzikhoebillah di Sambas
Kabupaten Sambas
A. Selayang Pandang
Sejarah Istana Alwatzikhoebillah tidak terlepas dari sosok Sultan Tengah, seorang pangeran dari Kesultanan Brunei yang kemudian diangkat menjadi sultan di Kesultanan Serawak. Sejarah berawal ketika Sultan Tengah beserta rombongannya, setelah melakukan kunjungan persahabatan (muhibah) ke Kesultanan Johor, Malaysia, singgah di Kerajaan Matan, Tanjungpura. Di Matan, beliau disambut dengan hangat oleh raja Matan, Panembahan Giri Kusuma, yang di kemudian hari masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin (1631-1668). Sultan Tengah tertarik mendalami agama Islam pada Syekh Syamsuddin dari Mekah yang menyebarkan Islam di Matan. Tak lama kemudian, Sultan Tengah menikah dengan Ratu Surya Kusuma, adik Sultan Muhammad Syafiuddin.
Setelah beberapa lama tinggal di Matan, Sultan Tengah memboyong keluarganya ke Kota Bangun, yang berdekatan dengan Kota Lama, ibu kota Kerajaan Sambas. Di Kota Bangun ini, beliau melakukan dua hal penting yang kelak menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Sambas dan Istana Alwatzikhoebillah, yaitu menyebarkan agama Islam sampai ke Kota Lama dan menikahkan puteranya, Raden Sulaiman, dengan Mas Ayu Bungsu, puteri Ratu Sepudak dari Kerajaan Sambas. Konon, pada masa raja yang memiliki darah keturunan Majapaht inilah ibu kota Kerajaan Sambas dipindahkan dari Paloh ke Kota Lama.
Terbukti, strategi yang dijalankan Sultan Tengah tersebut berhasil, yaitu beralihnya Kerajaaan Sambas Hindu menjadi Kesultanan Islam dan diangkatnya Raden Sulaiman menjadi pembantu sultan (wazir). Namun karena sebuah fitnah, akhirnya Raden Sulaiman tersingkir dari Kota Lama dan kembali lagi ke Kota Bangun.
Setelah berhasil membangun Kota Bangun, bahkan lebih maju dari Kota Lama, keluarga Sultan Tengah yang dipimpin oleh Raden Sulaiman, memutuskan pindah ke Lubuk Madung, yang merupakan pertemuan Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Kemudian, di tempat itu didirikan Istana Alwatzikhoebillah dan di istana tersebut Raden Sulaiman dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin.
Namun, Istana Alwatzikhoebillah yang terlihat sekarang ini, baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943), sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Sejak bulan Februari 2008, pemangku Istana Alwatzikhoebillah dipercayakan kepada Pangeran Ratu M. Tarhan Winata Kesuma.
B. Kestimewaan
Kuno tapi terawat dengan baik. Hijau dan sejuk. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika menginjakkan kaki di Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas ini. Untuk memasuki area istana, pengunjung akan melewati dua buah gapura. Gapura pertama merupakan pintu gerbang untuk memasuki alun-alun dan sekaligus pembatas jalan umum dengan area istana, sedangkan gapura kedua membatasi alun-alun dengan halaman istana.
Dari gapura pertama, pengunjung dapat melihat betapa rapinya tata letak seluruh bangunannya. Di sebelah kanan alun-alun, pengunjung dapat melihat keanggunan Masjid Jami‘ Sultan Syafiuddin, masjid Kesultanan Sambas. Di bagian belakang alun-alun, pengunjung dapat melihat sebuah tiang seperti tiang kapal yang dikelilingi oleh tiga buah meriam dan disangga oleh empat tiang. Secara filosofis, tiga meriam tersebut melambangkan tiga buah sungai yang terdapat di sekitar istana yang harus selalu dijaga. Empat tiang penyangganya melambangkan empat menteri sebagai pembantu sultan. Sedangkan dua tiang penyangga yang terletak di sisi kiri dan kanan tiang itu melambangkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan selalu didampingi oleh ulama dan khatib.
Dari gapura kedua, pengunjung dapat melihat tiga bangunan istana dengan dominasi warna kuning sebagai warna khas Melayu yang melambangkan kewibawaan dan keluhuran budi pekerti. Persis di sisi kanan dan kiri gapura kedua, terdapat dua balai pertemuan yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu kehormatan sebelum bertemu dengan sultan. Sekarang, dua balai pertemuan tersebut difungsikan sebagai tempat bedug.
Bangunan utama istana terletak di tengah-tengah dan memiliki ukuran paling besar. Di sayap kiri dan kanannya, terdapat bangunan pendukung yang terhubung langsung dengan bangunan utama istana. Bangunan sayap kiri dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu-tamu kehormatan, sedangkan bangunan sayap kanan digunakan untuk mempersiapkan segala keperluan sultan dan keluarganya. Sekarang, bangunan sayap kiri tersebut digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka kesultanan.
Bagian dalam istana terdiri dari tiga ruangan, yaitu ruangan depan, tengah, dan belakang. Ruangan depan merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri. Di sini, pengunjung dapat melihat foto-foto para sultan dan pakaian kebesaran kesultanan. Ruangan tengah terdiri dari empat kamar yang dahulunya merupakan kamar sultan dan keluarganya. Di ruangan ini, pengunjung dapat melihat foto-foto sultan bersama keluarganya, tamu-tamu kehormatan, dan acara-acara kesultanan. Sedangkan ruangan belakang yang berukuran paling kecil, terlihat kosong.
Selain itu, pengunjung dapat melihat bekas kolam pemandian keluarga sultan di samping kanan istana dan rumah kediaman keluarga sultan yang berada di belakang istana.
Pada sore hari, pengunjung akan berdecak kagum melihat pesona istana ini yang eksotik, apalagi dilihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-lahan di atas Sungai Sambas Kecil.
C. Lokasi
Istana Alwatzikhoebillah terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kabupaten Sambas berjarak sekitar 225 kilometer di sebelah utara dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak, pengunjung dapat naik bus sampai Sambas dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Dari pusat Kota Sambas, pengunjung dapat naik bus atau minibus menuju Istana Alwatzikhoebillah.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar kawasan Istana Alwatzikhoebillah, terdapat berbagai fasilitas, seperti masjid, warung makan, pramuwisata, kios wartel, voucher isi ulang pulsa, sentra oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan sampan dan speed boat untuk mengelilingi kawasan istana.
Kabupaten Sambas
A. Selayang Pandang
Sejarah Istana Alwatzikhoebillah tidak terlepas dari sosok Sultan Tengah, seorang pangeran dari Kesultanan Brunei yang kemudian diangkat menjadi sultan di Kesultanan Serawak. Sejarah berawal ketika Sultan Tengah beserta rombongannya, setelah melakukan kunjungan persahabatan (muhibah) ke Kesultanan Johor, Malaysia, singgah di Kerajaan Matan, Tanjungpura. Di Matan, beliau disambut dengan hangat oleh raja Matan, Panembahan Giri Kusuma, yang di kemudian hari masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin (1631-1668). Sultan Tengah tertarik mendalami agama Islam pada Syekh Syamsuddin dari Mekah yang menyebarkan Islam di Matan. Tak lama kemudian, Sultan Tengah menikah dengan Ratu Surya Kusuma, adik Sultan Muhammad Syafiuddin.
Setelah beberapa lama tinggal di Matan, Sultan Tengah memboyong keluarganya ke Kota Bangun, yang berdekatan dengan Kota Lama, ibu kota Kerajaan Sambas. Di Kota Bangun ini, beliau melakukan dua hal penting yang kelak menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Sambas dan Istana Alwatzikhoebillah, yaitu menyebarkan agama Islam sampai ke Kota Lama dan menikahkan puteranya, Raden Sulaiman, dengan Mas Ayu Bungsu, puteri Ratu Sepudak dari Kerajaan Sambas. Konon, pada masa raja yang memiliki darah keturunan Majapaht inilah ibu kota Kerajaan Sambas dipindahkan dari Paloh ke Kota Lama.
Terbukti, strategi yang dijalankan Sultan Tengah tersebut berhasil, yaitu beralihnya Kerajaaan Sambas Hindu menjadi Kesultanan Islam dan diangkatnya Raden Sulaiman menjadi pembantu sultan (wazir). Namun karena sebuah fitnah, akhirnya Raden Sulaiman tersingkir dari Kota Lama dan kembali lagi ke Kota Bangun.
Setelah berhasil membangun Kota Bangun, bahkan lebih maju dari Kota Lama, keluarga Sultan Tengah yang dipimpin oleh Raden Sulaiman, memutuskan pindah ke Lubuk Madung, yang merupakan pertemuan Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Kemudian, di tempat itu didirikan Istana Alwatzikhoebillah dan di istana tersebut Raden Sulaiman dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin.
Namun, Istana Alwatzikhoebillah yang terlihat sekarang ini, baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943), sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Sejak bulan Februari 2008, pemangku Istana Alwatzikhoebillah dipercayakan kepada Pangeran Ratu M. Tarhan Winata Kesuma.
B. Kestimewaan
Kuno tapi terawat dengan baik. Hijau dan sejuk. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika menginjakkan kaki di Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas ini. Untuk memasuki area istana, pengunjung akan melewati dua buah gapura. Gapura pertama merupakan pintu gerbang untuk memasuki alun-alun dan sekaligus pembatas jalan umum dengan area istana, sedangkan gapura kedua membatasi alun-alun dengan halaman istana.
Dari gapura pertama, pengunjung dapat melihat betapa rapinya tata letak seluruh bangunannya. Di sebelah kanan alun-alun, pengunjung dapat melihat keanggunan Masjid Jami‘ Sultan Syafiuddin, masjid Kesultanan Sambas. Di bagian belakang alun-alun, pengunjung dapat melihat sebuah tiang seperti tiang kapal yang dikelilingi oleh tiga buah meriam dan disangga oleh empat tiang. Secara filosofis, tiga meriam tersebut melambangkan tiga buah sungai yang terdapat di sekitar istana yang harus selalu dijaga. Empat tiang penyangganya melambangkan empat menteri sebagai pembantu sultan. Sedangkan dua tiang penyangga yang terletak di sisi kiri dan kanan tiang itu melambangkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan selalu didampingi oleh ulama dan khatib.
Dari gapura kedua, pengunjung dapat melihat tiga bangunan istana dengan dominasi warna kuning sebagai warna khas Melayu yang melambangkan kewibawaan dan keluhuran budi pekerti. Persis di sisi kanan dan kiri gapura kedua, terdapat dua balai pertemuan yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu kehormatan sebelum bertemu dengan sultan. Sekarang, dua balai pertemuan tersebut difungsikan sebagai tempat bedug.
Bangunan utama istana terletak di tengah-tengah dan memiliki ukuran paling besar. Di sayap kiri dan kanannya, terdapat bangunan pendukung yang terhubung langsung dengan bangunan utama istana. Bangunan sayap kiri dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu-tamu kehormatan, sedangkan bangunan sayap kanan digunakan untuk mempersiapkan segala keperluan sultan dan keluarganya. Sekarang, bangunan sayap kiri tersebut digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka kesultanan.
Bagian dalam istana terdiri dari tiga ruangan, yaitu ruangan depan, tengah, dan belakang. Ruangan depan merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri. Di sini, pengunjung dapat melihat foto-foto para sultan dan pakaian kebesaran kesultanan. Ruangan tengah terdiri dari empat kamar yang dahulunya merupakan kamar sultan dan keluarganya. Di ruangan ini, pengunjung dapat melihat foto-foto sultan bersama keluarganya, tamu-tamu kehormatan, dan acara-acara kesultanan. Sedangkan ruangan belakang yang berukuran paling kecil, terlihat kosong.
Selain itu, pengunjung dapat melihat bekas kolam pemandian keluarga sultan di samping kanan istana dan rumah kediaman keluarga sultan yang berada di belakang istana.
Pada sore hari, pengunjung akan berdecak kagum melihat pesona istana ini yang eksotik, apalagi dilihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-lahan di atas Sungai Sambas Kecil.
C. Lokasi
Istana Alwatzikhoebillah terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kabupaten Sambas berjarak sekitar 225 kilometer di sebelah utara dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak, pengunjung dapat naik bus sampai Sambas dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Dari pusat Kota Sambas, pengunjung dapat naik bus atau minibus menuju Istana Alwatzikhoebillah.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar kawasan Istana Alwatzikhoebillah, terdapat berbagai fasilitas, seperti masjid, warung makan, pramuwisata, kios wartel, voucher isi ulang pulsa, sentra oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan sampan dan speed boat untuk mengelilingi kawasan istana.
Makam Raja-raja Landak
Kabupaten Landak
. Selayang Pandang
Kompleks Istana Kerajaan Landak yang terletak di Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, memiliki tiga elemen utama, yakni Istana Ismahayana Landak, masjid Djami‘ Keraton Landak, serta makam para sultan Kerajaan Landak dan kerabatnya. Dirasa tak lengkap, bila wisatawan tidak mampir berziarah ke makam raja-raja Landak ketika berkunjung ke kompleks Keraton Landak. Makam para sultan dan para kerabatnya terletak di sebelah barat Masjid Djami‘ Keraton Landak.
Latar sejarah Kerajaan Landak yang pernah berpindah tempat sebanyak tiga kali, membuat lokasi makam ketiga puluh delapan raja kesultanan ini berbeda-beda. Selain di Kota Ngabang, di Ayu Mungguk juga terdapat makam Sultan Raden Abdulkahar atau Raden Ismahayana (1472—1542 M). Makam raja Landak yang pertama kali menganut ajaran Islam tersebut berada di atas bukit dan terletak sekitar 7 km dari Kota Ngabang. Saat ini, makam Raden Ismahayana masih terawat dengan baik, meski diperkirakan telah berusia lebih dari 400 tahun. Sementara itu, makam raja lainnya terletak di daerah Bandong, sebuah kota berjarak kurang lebih 24 km dari Kota Ngabang.
Secara umum, kondisi makam para raja Landak di Ngabang yang telah berusia lebih dari 250 tahun sejak Raden Anom Jaya Kusuma (wakil raja yang memboyong putra mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma [raja Landak ke-16] hijrah ke Ngabang dari ibu kota lama, Bandong, pada tahun 1768) mangkat pada akhir abad ke-18 ini kurang terawat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya rumput liar yang tumbuh subur di sekitar makam. Sama halnya dengan papan-papan nama tiap nisan yang mulai kabur akibat terik matahari dan guyuran air hujan. Kendati demikian, makam ini tetap merupakan sebuah situs sejarah Keraton Landak yang pantas dirawat dan dilestarikan agar dapat dikunjungi wisatawan maupun para peziarah. Lestarinya makam ini tidak hanya akan bermanfaat bagi pariwisata daerah Landak, melainkan juga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bidang sejarah dan arkeologi.
B. Keistimewaan
Tidak hanya sebatas nilai-nilai sejarah saja yang dapat diperoleh ketika Anda mengunjungi situs makam raja-raja Kesultanan Landak ini. Melainkan, di makam seluas ± 700 m² ini, Anda akan menangkap suasana atau atmosfer yang tenang, hening, agar kemudian dapat secara khusyuk merenungkan bagaimana perjuangan mereka sebagai pemimpin masyarakat Landak ketika melawan kebengisan penjajah Belanda dan kekejaman tentara Jepang.
Makam ini khas, dengan bentuk tiap nisan yang menandakan perbedaan antara makam laki-laki dan perempuan. Nisan berbentuk bulat untuk laki-laki, sedangkan makam perempuan bernisan pipih. Beberapa nisan terbuat dari kayu belian dan sebagian yang lain dari batu. Nisan raja berwarna kuning keemasan, sementara untuk kerabat keraton bukan raja berwarna biru muda dan sebagian berwarna putih.
Oleh sebagian orang, kompleks pemakaman raja Landak ini dianggap keramat dan bertuah. Bagi yang meyakininya, makam ini dianggap sebagai tempat mustajab untuk berdoa dan dapat mendatangkan berkah.
C. Lokasi
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kompleks Keraton Landak, makam raja-raja Landak dan para kerabatnya ini terletak ± 120 m² di sebelah barat Masjid Djami` Keraton Landak. Atau, berada di Jalan Pangeran Sancanata Kusuma, kompleks Istana Kesultanan Landak, Desa Pedalaman, Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Dari terminal bus ibu kota Kabupaten Landak, Ngabang, wisatawan dapat naik ojek yang mangkal di sekitar terminal dengan ongkos berkisar Rp 6.000 (September 2008) untuk menuju ke kompleks Keraton Landak.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya ketika berziarah ke Makam Raja-raja Landak ini.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Bagi Anda yang menyempatkan berziarah ke makam raja Landak di Ngabang akan didampingi oleh seorang pemandu wisata sebagai rangkaian kunjungan ke Istana Ismahayana Landak. Dari pemandu ini, Anda akan memperoleh pelbagai kisah tentang kompleks makam raja-raja dan beberapa kerabatnya ini karena sang pemandu masih keluarga keraton.
Selain itu, juga tersedia kamar kecil dan masjid sebagai fasilitas wisatawan. Bila ingin mencari rumah makan dan penginapan, maka kunjungilah pusat Kota Ngabang yang berjarak ± 2 km dari Makam Raja-raja Landak ini. Di pusat kota, berbagai fasilitas yang memadai bagi wisatawan dapat dengan mudah ditemukan.
Kabupaten Landak
. Selayang Pandang
Kompleks Istana Kerajaan Landak yang terletak di Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, memiliki tiga elemen utama, yakni Istana Ismahayana Landak, masjid Djami‘ Keraton Landak, serta makam para sultan Kerajaan Landak dan kerabatnya. Dirasa tak lengkap, bila wisatawan tidak mampir berziarah ke makam raja-raja Landak ketika berkunjung ke kompleks Keraton Landak. Makam para sultan dan para kerabatnya terletak di sebelah barat Masjid Djami‘ Keraton Landak.
Latar sejarah Kerajaan Landak yang pernah berpindah tempat sebanyak tiga kali, membuat lokasi makam ketiga puluh delapan raja kesultanan ini berbeda-beda. Selain di Kota Ngabang, di Ayu Mungguk juga terdapat makam Sultan Raden Abdulkahar atau Raden Ismahayana (1472—1542 M). Makam raja Landak yang pertama kali menganut ajaran Islam tersebut berada di atas bukit dan terletak sekitar 7 km dari Kota Ngabang. Saat ini, makam Raden Ismahayana masih terawat dengan baik, meski diperkirakan telah berusia lebih dari 400 tahun. Sementara itu, makam raja lainnya terletak di daerah Bandong, sebuah kota berjarak kurang lebih 24 km dari Kota Ngabang.
Secara umum, kondisi makam para raja Landak di Ngabang yang telah berusia lebih dari 250 tahun sejak Raden Anom Jaya Kusuma (wakil raja yang memboyong putra mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma [raja Landak ke-16] hijrah ke Ngabang dari ibu kota lama, Bandong, pada tahun 1768) mangkat pada akhir abad ke-18 ini kurang terawat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya rumput liar yang tumbuh subur di sekitar makam. Sama halnya dengan papan-papan nama tiap nisan yang mulai kabur akibat terik matahari dan guyuran air hujan. Kendati demikian, makam ini tetap merupakan sebuah situs sejarah Keraton Landak yang pantas dirawat dan dilestarikan agar dapat dikunjungi wisatawan maupun para peziarah. Lestarinya makam ini tidak hanya akan bermanfaat bagi pariwisata daerah Landak, melainkan juga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bidang sejarah dan arkeologi.
B. Keistimewaan
Tidak hanya sebatas nilai-nilai sejarah saja yang dapat diperoleh ketika Anda mengunjungi situs makam raja-raja Kesultanan Landak ini. Melainkan, di makam seluas ± 700 m² ini, Anda akan menangkap suasana atau atmosfer yang tenang, hening, agar kemudian dapat secara khusyuk merenungkan bagaimana perjuangan mereka sebagai pemimpin masyarakat Landak ketika melawan kebengisan penjajah Belanda dan kekejaman tentara Jepang.
Makam ini khas, dengan bentuk tiap nisan yang menandakan perbedaan antara makam laki-laki dan perempuan. Nisan berbentuk bulat untuk laki-laki, sedangkan makam perempuan bernisan pipih. Beberapa nisan terbuat dari kayu belian dan sebagian yang lain dari batu. Nisan raja berwarna kuning keemasan, sementara untuk kerabat keraton bukan raja berwarna biru muda dan sebagian berwarna putih.
Oleh sebagian orang, kompleks pemakaman raja Landak ini dianggap keramat dan bertuah. Bagi yang meyakininya, makam ini dianggap sebagai tempat mustajab untuk berdoa dan dapat mendatangkan berkah.
C. Lokasi
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kompleks Keraton Landak, makam raja-raja Landak dan para kerabatnya ini terletak ± 120 m² di sebelah barat Masjid Djami` Keraton Landak. Atau, berada di Jalan Pangeran Sancanata Kusuma, kompleks Istana Kesultanan Landak, Desa Pedalaman, Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Dari terminal bus ibu kota Kabupaten Landak, Ngabang, wisatawan dapat naik ojek yang mangkal di sekitar terminal dengan ongkos berkisar Rp 6.000 (September 2008) untuk menuju ke kompleks Keraton Landak.
E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya ketika berziarah ke Makam Raja-raja Landak ini.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Bagi Anda yang menyempatkan berziarah ke makam raja Landak di Ngabang akan didampingi oleh seorang pemandu wisata sebagai rangkaian kunjungan ke Istana Ismahayana Landak. Dari pemandu ini, Anda akan memperoleh pelbagai kisah tentang kompleks makam raja-raja dan beberapa kerabatnya ini karena sang pemandu masih keluarga keraton.
Selain itu, juga tersedia kamar kecil dan masjid sebagai fasilitas wisatawan. Bila ingin mencari rumah makan dan penginapan, maka kunjungilah pusat Kota Ngabang yang berjarak ± 2 km dari Makam Raja-raja Landak ini. Di pusat kota, berbagai fasilitas yang memadai bagi wisatawan dapat dengan mudah ditemukan.
Masjid Djami Keraton Landak
Kabupaten Landak
A. Selayang Pandang
Masjid merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kompleks istana pada setiap kerajaan Islam atau kesultanan di Asia Tenggara. Sama halnya dengan kompleks Keraton Landak yang terletak di Kota Ngabang, Ibu Kota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kompleks keraton milik Kerajaan Landak ini terdiri dari tiga bagian yang saling melengkapi, yakni istana kerajaan, masjid, serta makam raja dan para kerabatnya.
Terletak di utara istana, Masjid Djami‘ Keraton Landak tampak anggun dan sederhana. Masjid ini masih terawat dengan baik sampai sekarang. Sejarah masjid ini bermula sejak masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895—1899) atau raja Landak ke-21.
Pada awalnya, Masjid Djami‘ Keraton Landak terletak di tepi Sungai Landak atau di timur istana. Kemudian, beliau memerintahkan agar masjid yang dibangun dengan bahan utama kayu belian khas Kalimantan ini dipindahkan ke sebelah utara istana. Bangunan masjid yang lama kini sudah tidak ada lagi. Saat ini, lokasi masjid lama telah menjadi sebuah kompleks pondok pesantren untuk belajar agama Islam bagi anak-anak di sekitar istana.
Kala itu, setelah masjid dipindahkan ke utara istana, Bilal Achmad menjadi Maha Sultan Imam masjid sampai masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulhamid (1922—1943) atau Sultan Landak ke-22. Selanjutnya, Bilal Achmad digantikan oleh Osu Anang dari Banjor hingga Jepang berkuasa di Kalimantan Barat pada medio tahun 1943.
Sebagai cagar budaya dan situs sejarah, masjid ini telah beberapa kali mengalami renovasi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980-an dan pemerintah daerah pada tahun 2000-an.
B. Keistimewaan
Di Masjid Djami‘ Keraton Landak yang memiliki luas bangunan sekitar 400 m2 ini, wisatawan akan menangkap nuansa religiositas masyarakat muslim di Desa Pedalaman yang berada di sekeliling kompleks istana.
Apabila Anda mengunjungi masjid ini di kala hari melangkah senja, saat lazuardi di ufuk barat mulai memerah dan menjelang adzan magrib berkumandang, tampak orang-orang mulai mendatangi masjid. Orang tua, pemuda-pemudi, para santri pesantren yang tak jauh dari istana, serta anak-anak kecil berjalan dari berbagai arah dan satu demi satu menuju pintu masjid yang menghadap ke timur. Di dalam masjid itu, jamaah puteri menempati bagian kiri yang disekat dengan tirai kain berwarna putih. Sementara, jamaah laki-laki membuat shaf di bagian tengah depan dan diikuti anak-anak di belakang barisan laki-laki dewasa. Mereka tampak khusuk melaksanakan solat magrib. Selesai sembahyang, sebagian dari mereka biasanya meluangkan waktunya untuk berdzikir sejenak.
Memasuki masjid ini, wisatawan akan mendapati konstruksi bangunan masjid yang tampak sederhana namun kokoh. Dengan kayu belian sebagai unsur utama dan atap sirap yang berbahan serupa, masjid yang memiliki empat pilar dari kayu utuh ini tetap memesona. Hal ini lantaran di tiap sudutnya nampak dihiasi ornamen-ornamen dari kayu berukir ayat-ayat suci Al-Quran dan motif-motif khas Melayu. Perpaduan warna biru muda dan putih gading pada dinding dan pilar-pilar masjid juga menambah sejuk gambaran keseluruhan masjid.
C. Lokasi
Masjid Jami‘ Keraton Landak berada di Jalan Pangeran Sancanata Kusuma, kompleks Keraton atau Istana Kesultanan Landak yang terletak di Desa Pedalaman, Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Dari terminal bus Ngabang, Kabupaten Landak, wisatawan dapat naik ojek yang mangkal di sekitar terminal dengan ongkos sekitar Rp 6.000,- (September 2008) untuk menuju ke kompleks Keraton Landak. Sesampainya di kompleks ini, pengunjung hanya perlu berjalan sekitar 50 meter ke arah utara dari bangunan Istana Keraton Landak.
E. Harga Tiket
Wisatawan tidak dipungut biaya alias gratis. Namun, bila pengunjung ingin menyisihkan sedikit uang untuk berbagai keperluan perawatan masjid, maka disediakan kotak infak yang terletak di dekat pintu masuk Masjid Djami‘ Keraton Landak.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Sebagai bagian dari kunjungan ke Istana Keraton Landak, pelancong yang mengunjungi masjid besar kesultanan Landak ini akan mendapatkan pelayanan pemandu wisata. Sang pemandu akan menceritakan dengan baik bagaimana sejarah masjid ini. Selain itu, wisatawan akan mendapati keterangan-keterangan singkat mengenai seni rancang-bangun masjid ini darinya.
Tidak jauh dari masjid, pelancong yang ingin mengusap muka dengan air karena panasnya suhu udara di sana, disediakan air pada kran-kran yang biasa dipakai untuk berwudu. Di samping tempat itu, juga ada toilet yang dapat digunakan gratis bagi wisatawan yang memerlukan.
Kabupaten Landak
A. Selayang Pandang
Masjid merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kompleks istana pada setiap kerajaan Islam atau kesultanan di Asia Tenggara. Sama halnya dengan kompleks Keraton Landak yang terletak di Kota Ngabang, Ibu Kota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kompleks keraton milik Kerajaan Landak ini terdiri dari tiga bagian yang saling melengkapi, yakni istana kerajaan, masjid, serta makam raja dan para kerabatnya.
Terletak di utara istana, Masjid Djami‘ Keraton Landak tampak anggun dan sederhana. Masjid ini masih terawat dengan baik sampai sekarang. Sejarah masjid ini bermula sejak masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895—1899) atau raja Landak ke-21.
Pada awalnya, Masjid Djami‘ Keraton Landak terletak di tepi Sungai Landak atau di timur istana. Kemudian, beliau memerintahkan agar masjid yang dibangun dengan bahan utama kayu belian khas Kalimantan ini dipindahkan ke sebelah utara istana. Bangunan masjid yang lama kini sudah tidak ada lagi. Saat ini, lokasi masjid lama telah menjadi sebuah kompleks pondok pesantren untuk belajar agama Islam bagi anak-anak di sekitar istana.
Kala itu, setelah masjid dipindahkan ke utara istana, Bilal Achmad menjadi Maha Sultan Imam masjid sampai masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulhamid (1922—1943) atau Sultan Landak ke-22. Selanjutnya, Bilal Achmad digantikan oleh Osu Anang dari Banjor hingga Jepang berkuasa di Kalimantan Barat pada medio tahun 1943.
Sebagai cagar budaya dan situs sejarah, masjid ini telah beberapa kali mengalami renovasi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980-an dan pemerintah daerah pada tahun 2000-an.
B. Keistimewaan
Di Masjid Djami‘ Keraton Landak yang memiliki luas bangunan sekitar 400 m2 ini, wisatawan akan menangkap nuansa religiositas masyarakat muslim di Desa Pedalaman yang berada di sekeliling kompleks istana.
Apabila Anda mengunjungi masjid ini di kala hari melangkah senja, saat lazuardi di ufuk barat mulai memerah dan menjelang adzan magrib berkumandang, tampak orang-orang mulai mendatangi masjid. Orang tua, pemuda-pemudi, para santri pesantren yang tak jauh dari istana, serta anak-anak kecil berjalan dari berbagai arah dan satu demi satu menuju pintu masjid yang menghadap ke timur. Di dalam masjid itu, jamaah puteri menempati bagian kiri yang disekat dengan tirai kain berwarna putih. Sementara, jamaah laki-laki membuat shaf di bagian tengah depan dan diikuti anak-anak di belakang barisan laki-laki dewasa. Mereka tampak khusuk melaksanakan solat magrib. Selesai sembahyang, sebagian dari mereka biasanya meluangkan waktunya untuk berdzikir sejenak.
Memasuki masjid ini, wisatawan akan mendapati konstruksi bangunan masjid yang tampak sederhana namun kokoh. Dengan kayu belian sebagai unsur utama dan atap sirap yang berbahan serupa, masjid yang memiliki empat pilar dari kayu utuh ini tetap memesona. Hal ini lantaran di tiap sudutnya nampak dihiasi ornamen-ornamen dari kayu berukir ayat-ayat suci Al-Quran dan motif-motif khas Melayu. Perpaduan warna biru muda dan putih gading pada dinding dan pilar-pilar masjid juga menambah sejuk gambaran keseluruhan masjid.
C. Lokasi
Masjid Jami‘ Keraton Landak berada di Jalan Pangeran Sancanata Kusuma, kompleks Keraton atau Istana Kesultanan Landak yang terletak di Desa Pedalaman, Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Dari terminal bus Ngabang, Kabupaten Landak, wisatawan dapat naik ojek yang mangkal di sekitar terminal dengan ongkos sekitar Rp 6.000,- (September 2008) untuk menuju ke kompleks Keraton Landak. Sesampainya di kompleks ini, pengunjung hanya perlu berjalan sekitar 50 meter ke arah utara dari bangunan Istana Keraton Landak.
E. Harga Tiket
Wisatawan tidak dipungut biaya alias gratis. Namun, bila pengunjung ingin menyisihkan sedikit uang untuk berbagai keperluan perawatan masjid, maka disediakan kotak infak yang terletak di dekat pintu masuk Masjid Djami‘ Keraton Landak.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Sebagai bagian dari kunjungan ke Istana Keraton Landak, pelancong yang mengunjungi masjid besar kesultanan Landak ini akan mendapatkan pelayanan pemandu wisata. Sang pemandu akan menceritakan dengan baik bagaimana sejarah masjid ini. Selain itu, wisatawan akan mendapati keterangan-keterangan singkat mengenai seni rancang-bangun masjid ini darinya.
Tidak jauh dari masjid, pelancong yang ingin mengusap muka dengan air karena panasnya suhu udara di sana, disediakan air pada kran-kran yang biasa dipakai untuk berwudu. Di samping tempat itu, juga ada toilet yang dapat digunakan gratis bagi wisatawan yang memerlukan.
Vihara Tri Dharma Bumi Raya
Kota Singkawang
A. Selayang Pandang
Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah vihara tertua di Kabupaten Singkawang yang diperkirakan telah berusia 200 tahun. Penduduk setempat menyebut Vihara Tri Dharma Bumi Raya dengan sebutan Tai Pak Kung (Toa Pekong). Vihara yang terletak di pusat Kota Singkawang ini merupakan salah satu ciri khas dan cikal bakal berdirinya Kota Singkawang.
Tahun pembuatan vihara ini belum ditemukan secara pasti. Namun menurut Komunitas Tionghoa Singkawang, usia Vihara Tri Dharma Bumi Raya setara dengan sejarah keberadaan komunitas Tionghoa Singkawang yang telah berusia lebih dari 200 tahun. Pada tahun 1933, Vihara Tri Dharma Bumi Raya diperluas dan dibangun. Namun pada tahun 1936, Vihara Tri Dharma Bumi Raya sempat terbakar sehingga dilakukan direnovasi.
Vihara yang terletak tepat di jantung Kota Singkawang ini dipercaya sebagai tempat berdiamnya Dewa Bumi Raya. Dewa ini dipercaya oleh etnis Tionghoa sebagai dewa yang menjaga Kota Singkawang. Atas dasar kepercayaan tersebut, maka masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang dan sekitarnya juga mengadakan semacam ulang tahun bagi Dewa Bumi Raya yang dihelat setiap tanggal 6 bulan 6 (6 Juni) pada setiap tahunnya. Belum diketahui secara persis penanggalan ulang tahun tersebut pertama kali dimulai.
Kesan tua sekaligus magis langsung terlihat begitu kita masuk ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Meskipun tidak semegah Vihara Budha Tri Darma, tapi kesan sakral yang dimunculkan di vihara ini akan langsung didapatkan begitu kita melangkah kaki memasuki pintu vihara.
Bangunan vihara jelas menampakan kesan tua. Dinding dan kayu penyangga ruangan juga memunculkan kesan bahwa vihara ini mempunyai usia yang cukup panjang. Sedikitnya umur vihara ini telah mencapai 100 tahun, demikian disampaikan oleh salah satu pengurus vihara.
Vihara ini hanya mempunyai satu lantai yang merupakan pusat dari segala aktivitas keagamaan. Misalnya upacara sembahyang yang dilakukan pada setiap hari pada waktu sore. Salah satu perangkat upacara yang sangat penting adalah keberadaan patung Pek Kong.Menurut pengurus Vihara Tri Dharma Bumi Raya, patung yang terbuat dari kayu ini didatangkan langsung dari Cina. Terdapat tiga pasang Patung Pek Kong yang ada di Vihara Tri Dharma Bumi Raya ini.
B. Keistimewaan
Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah vihara tertua di Singkawang. Predikat inilah yang kemudian membuat Vihara Tri Dharma Bumi Raya dijadikan sebagai pusat kegiatan dalam Perayaan Cap Go Meh, yaitu perayaan masyarakat Tionghoa yang turun ke jalan pada hari ke-14 sampai 15 setelah tahun baru Imlek atau diagendakan setiap tanggal 28 Februari. Perayaan Cap Go Meh bertujuan untuk membersihkan kampung.
Dalam Perayaan Cap Go Meh berbagai macam Tatung/ Louya diarak keliling kampung. Khusus di Kota Singkawang, Vihara Tri Dharma Bumi Raya menjadi pusat berkumpulnya berbagai macam Tatung/ Louya yang bertujuan untuk menyembah para dewa pada Perayaan Cap Go Meh. Nilai keistimewaan yaitu berupa anggapan sebagai vihara tertua di Singkawang membuat Vihara Tri Dharma Bumi Raya menjadi pusat kegiatan dari perayaan Cap Go Meh setiap tahunnya di Singkawang.
Selain sebagai pusat kegiatan pada perayaan Cap Go Meh, Vihara Tri Dharma Bumi Raya juga mempunyai koleksi patung Pek Kong yang ditengarai telah berusia diatas angka 100 tahun. Menurut pengelola vihara, patung yang terbuat dari kayu ini didatangkan langsung dari Tiongkok.
C. Lokasi
Vihara Tri Dharma Bumi Raya terletak di Jalan Pasar Tengah (Jalan Sejahtera), Kota Singkawang.
D. Harga Tiket
Pengunjung yang akan singgah di Vihara Tri Dharma Bumi Raya tidak dipungut biaya.
E. Akses
Lokasi Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berada di pusat Kota Singkawang sangat memudahkan bagi pengunjung yang mempunyai agenda untuk singgah di tempat ini. Bagi pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi bisa langsung meluncur ke lokasi dengan tujuan ke Jalan Pasar Tengah, Kota Singkawang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Sebagai salah satu tempat wisata sejarah, Vihara Tri Dharma Bumi Raya menawarkan nuansa sakral sekaligus magis. Kesan ini muncul sehubungan dengan keadaan bangunan yang telah berumur tua dan fungsi Vihara Tri Dharma Bumi Raya sebagai pusat dari penyembahan para Tatung/ Louya kepada dewa-dewa dalam setiap Perayaan Cap Go Meh.
Selain itu, Vihara Tri Dharma Bumi Raya juga menjadi salah satu ikon Kota Singkawang. Ikon ini muncul seiring dengan usia Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang telah mengiringi perkembangan Kota Singkawang. Belajar sejarah Singkawang terasa kurang lengkap tanpa berkunjung ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya
Kota Singkawang
A. Selayang Pandang
Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah vihara tertua di Kabupaten Singkawang yang diperkirakan telah berusia 200 tahun. Penduduk setempat menyebut Vihara Tri Dharma Bumi Raya dengan sebutan Tai Pak Kung (Toa Pekong). Vihara yang terletak di pusat Kota Singkawang ini merupakan salah satu ciri khas dan cikal bakal berdirinya Kota Singkawang.
Tahun pembuatan vihara ini belum ditemukan secara pasti. Namun menurut Komunitas Tionghoa Singkawang, usia Vihara Tri Dharma Bumi Raya setara dengan sejarah keberadaan komunitas Tionghoa Singkawang yang telah berusia lebih dari 200 tahun. Pada tahun 1933, Vihara Tri Dharma Bumi Raya diperluas dan dibangun. Namun pada tahun 1936, Vihara Tri Dharma Bumi Raya sempat terbakar sehingga dilakukan direnovasi.
Vihara yang terletak tepat di jantung Kota Singkawang ini dipercaya sebagai tempat berdiamnya Dewa Bumi Raya. Dewa ini dipercaya oleh etnis Tionghoa sebagai dewa yang menjaga Kota Singkawang. Atas dasar kepercayaan tersebut, maka masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang dan sekitarnya juga mengadakan semacam ulang tahun bagi Dewa Bumi Raya yang dihelat setiap tanggal 6 bulan 6 (6 Juni) pada setiap tahunnya. Belum diketahui secara persis penanggalan ulang tahun tersebut pertama kali dimulai.
Kesan tua sekaligus magis langsung terlihat begitu kita masuk ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Meskipun tidak semegah Vihara Budha Tri Darma, tapi kesan sakral yang dimunculkan di vihara ini akan langsung didapatkan begitu kita melangkah kaki memasuki pintu vihara.
Bangunan vihara jelas menampakan kesan tua. Dinding dan kayu penyangga ruangan juga memunculkan kesan bahwa vihara ini mempunyai usia yang cukup panjang. Sedikitnya umur vihara ini telah mencapai 100 tahun, demikian disampaikan oleh salah satu pengurus vihara.
Vihara ini hanya mempunyai satu lantai yang merupakan pusat dari segala aktivitas keagamaan. Misalnya upacara sembahyang yang dilakukan pada setiap hari pada waktu sore. Salah satu perangkat upacara yang sangat penting adalah keberadaan patung Pek Kong.Menurut pengurus Vihara Tri Dharma Bumi Raya, patung yang terbuat dari kayu ini didatangkan langsung dari Cina. Terdapat tiga pasang Patung Pek Kong yang ada di Vihara Tri Dharma Bumi Raya ini.
B. Keistimewaan
Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah vihara tertua di Singkawang. Predikat inilah yang kemudian membuat Vihara Tri Dharma Bumi Raya dijadikan sebagai pusat kegiatan dalam Perayaan Cap Go Meh, yaitu perayaan masyarakat Tionghoa yang turun ke jalan pada hari ke-14 sampai 15 setelah tahun baru Imlek atau diagendakan setiap tanggal 28 Februari. Perayaan Cap Go Meh bertujuan untuk membersihkan kampung.
Dalam Perayaan Cap Go Meh berbagai macam Tatung/ Louya diarak keliling kampung. Khusus di Kota Singkawang, Vihara Tri Dharma Bumi Raya menjadi pusat berkumpulnya berbagai macam Tatung/ Louya yang bertujuan untuk menyembah para dewa pada Perayaan Cap Go Meh. Nilai keistimewaan yaitu berupa anggapan sebagai vihara tertua di Singkawang membuat Vihara Tri Dharma Bumi Raya menjadi pusat kegiatan dari perayaan Cap Go Meh setiap tahunnya di Singkawang.
Selain sebagai pusat kegiatan pada perayaan Cap Go Meh, Vihara Tri Dharma Bumi Raya juga mempunyai koleksi patung Pek Kong yang ditengarai telah berusia diatas angka 100 tahun. Menurut pengelola vihara, patung yang terbuat dari kayu ini didatangkan langsung dari Tiongkok.
C. Lokasi
Vihara Tri Dharma Bumi Raya terletak di Jalan Pasar Tengah (Jalan Sejahtera), Kota Singkawang.
D. Harga Tiket
Pengunjung yang akan singgah di Vihara Tri Dharma Bumi Raya tidak dipungut biaya.
E. Akses
Lokasi Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berada di pusat Kota Singkawang sangat memudahkan bagi pengunjung yang mempunyai agenda untuk singgah di tempat ini. Bagi pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi bisa langsung meluncur ke lokasi dengan tujuan ke Jalan Pasar Tengah, Kota Singkawang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Sebagai salah satu tempat wisata sejarah, Vihara Tri Dharma Bumi Raya menawarkan nuansa sakral sekaligus magis. Kesan ini muncul sehubungan dengan keadaan bangunan yang telah berumur tua dan fungsi Vihara Tri Dharma Bumi Raya sebagai pusat dari penyembahan para Tatung/ Louya kepada dewa-dewa dalam setiap Perayaan Cap Go Meh.
Selain itu, Vihara Tri Dharma Bumi Raya juga menjadi salah satu ikon Kota Singkawang. Ikon ini muncul seiring dengan usia Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang telah mengiringi perkembangan Kota Singkawang. Belajar sejarah Singkawang terasa kurang lengkap tanpa berkunjung ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya
Makam Pangeran Iranata (Astane Raja Tanjungpura Pangeran Iranata)
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Pangeran Iranata adalah putra sulung Panembahan Giri Kesuma, raja muslim pertama di Kerajaan Tanjungpura. Karena pecah perselisihan di kalangan pejabat istana, Pangeran Iranata memilih keluar dari lingkaran kekuasaan. Bersama dengan keluarganya, Pangeran Iranata menyusuri sungai Pawan hingga tiba di sebuah daerah yang kini dikenal dengan nama Sembelengan atau Desa Negeri Baru. Di sini, dia mendirikan sebuah permukiman dan bermastautin hingga akhir hayatnya. Di tempat ini pula Pangeran Iranata dikebumikan.
Kompleks permakaman Pangeran Iranata menjadi magnet bagi para arkeolog karena diduga menyimpan banyak artefak. Ada beberapa tim peneliti, baik dari luar maupun dalam negeri, yang pernah melakukan penelitian di kompleks permakaman ini. Salah satunya adalah tim peneliti dari Banjarmasin yang melakukan penelitian selama 12 hari pada tahun 2007. Tim ini berhasil menemukan beberapa artefak seperti perabotan keramik, relief bermotif bunga, dan relief kaki arca yang menempel pada dinding bata merah.
Pada awalnya, tim peneliti dari Banjarmasin menemukan puing-puing bata merah dan keramik kuno yang berserakan di sekitar lokasi yang kemudian dijadikan sebagai lokasi penggalian. Tim itu kemudian mengembangkan penggalian dan menemukan struktur bangunan yang kemudian dipastikan merupakan pintu masuk sebuah candi. Pada pintu masuk itu, terdapat relief arca dan ukiran bunga.
Selain candi, tim peneliti itu juga berhasil menemukan struktur puing lingga dan pecahan lumpang atau lesung batu. Lingga yang merupakan lambang pemujaan peradaban Hindu kuno tersebut mempunyai ukuran yang cukup besar dengan bagian atas yang telah patah. Berbagai benda yang ditemukan tersebut tersebar dalam radius yang cukup luas, yaitu 100 – 200 m².
B. Keistimewaan
Kawasan Makam Pangeran Iranata ini terkenal dengan artefak peninggalan kebudayaan Hindu berupa candi yang terbuat dari batu merah. Selain itu, di makam ini juga terdapat pecahan keramik dari Dinasti Ming di Cina, Thailand, dan Belanda pada abad ke-18, batu purba, dan kuburan kuno dengan arsitektur Islam. Penemuan berbagai benda bersejarah tersebut tentunya menjadi nilai tersendiri bagi kekayaan sejarah, terutama artefak, di Kabupaten Ketapang.
Selain di dalam kompleks Makam Pangeran Iranata yang menyimpan banyak peninggalan sejarah, masyarakat di sekitar lokasi permakaman juga pernah menemukan nisan kuno di luar kompleks permakaman. Nisan ini ditemukan oleh masyarakat sekitar 300 m di luar kompleks Makam Pangeran Iranata.
Berbeda dengan nisan yang ada di Makam Keramat Tujuh maupun Keramat Sembilan, nisan ini terbuat dari kayu. Sekilas nisan tersebut mirip dengan lambang matahari milik Kerajaan Majapahit. Akan tetapi bentuknya agak berbeda karena sebagian sudah lapuk dimakan usia. Tetapi dapat dipastikan bahwa makam kuno yang berada di bawah nisan tersebut adalah makam seorang wanita muslim. Hal itu dapat dilihat dari ukirannya yang sangat indah dan penuh sehingga nampak unik.
Ditemukannya nisan (makam kuno) di luar area permakaman Pangeran Iranata semakin menambah minat para peneliti untuk datang ke lokasi ini. Faktor melimpahnya artefak sejarah menjadikan lokasi ini semakin mendapatkan tempat sebagai sebuah tempat kajian arkeologis.
C. Lokasi
Makam Pangeran Iranata terletak di Desa Negeri Baru, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang atau sekitar 5 km dari pusat kota Ketapang.
D. Harga Tiket
Pengunjung yang akan berziarah ke Makam Pangeran Iranata tidak dipungut biaya masuk.
E. Akses
Lokasi Makam Pangeran Iranata dapat dicapai sekitar 20 menit dengan mobil dari Keraton Kerajaan Matan atau 25 menit dari pusat kota Ketapang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Para pengunjung yang ingin mendapatkan informasi seputar makam bisa menghubungi juru kunci makam yang tinggal tidak jauh dari makam.
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Pangeran Iranata adalah putra sulung Panembahan Giri Kesuma, raja muslim pertama di Kerajaan Tanjungpura. Karena pecah perselisihan di kalangan pejabat istana, Pangeran Iranata memilih keluar dari lingkaran kekuasaan. Bersama dengan keluarganya, Pangeran Iranata menyusuri sungai Pawan hingga tiba di sebuah daerah yang kini dikenal dengan nama Sembelengan atau Desa Negeri Baru. Di sini, dia mendirikan sebuah permukiman dan bermastautin hingga akhir hayatnya. Di tempat ini pula Pangeran Iranata dikebumikan.
Kompleks permakaman Pangeran Iranata menjadi magnet bagi para arkeolog karena diduga menyimpan banyak artefak. Ada beberapa tim peneliti, baik dari luar maupun dalam negeri, yang pernah melakukan penelitian di kompleks permakaman ini. Salah satunya adalah tim peneliti dari Banjarmasin yang melakukan penelitian selama 12 hari pada tahun 2007. Tim ini berhasil menemukan beberapa artefak seperti perabotan keramik, relief bermotif bunga, dan relief kaki arca yang menempel pada dinding bata merah.
Pada awalnya, tim peneliti dari Banjarmasin menemukan puing-puing bata merah dan keramik kuno yang berserakan di sekitar lokasi yang kemudian dijadikan sebagai lokasi penggalian. Tim itu kemudian mengembangkan penggalian dan menemukan struktur bangunan yang kemudian dipastikan merupakan pintu masuk sebuah candi. Pada pintu masuk itu, terdapat relief arca dan ukiran bunga.
Selain candi, tim peneliti itu juga berhasil menemukan struktur puing lingga dan pecahan lumpang atau lesung batu. Lingga yang merupakan lambang pemujaan peradaban Hindu kuno tersebut mempunyai ukuran yang cukup besar dengan bagian atas yang telah patah. Berbagai benda yang ditemukan tersebut tersebar dalam radius yang cukup luas, yaitu 100 – 200 m².
B. Keistimewaan
Kawasan Makam Pangeran Iranata ini terkenal dengan artefak peninggalan kebudayaan Hindu berupa candi yang terbuat dari batu merah. Selain itu, di makam ini juga terdapat pecahan keramik dari Dinasti Ming di Cina, Thailand, dan Belanda pada abad ke-18, batu purba, dan kuburan kuno dengan arsitektur Islam. Penemuan berbagai benda bersejarah tersebut tentunya menjadi nilai tersendiri bagi kekayaan sejarah, terutama artefak, di Kabupaten Ketapang.
Selain di dalam kompleks Makam Pangeran Iranata yang menyimpan banyak peninggalan sejarah, masyarakat di sekitar lokasi permakaman juga pernah menemukan nisan kuno di luar kompleks permakaman. Nisan ini ditemukan oleh masyarakat sekitar 300 m di luar kompleks Makam Pangeran Iranata.
Berbeda dengan nisan yang ada di Makam Keramat Tujuh maupun Keramat Sembilan, nisan ini terbuat dari kayu. Sekilas nisan tersebut mirip dengan lambang matahari milik Kerajaan Majapahit. Akan tetapi bentuknya agak berbeda karena sebagian sudah lapuk dimakan usia. Tetapi dapat dipastikan bahwa makam kuno yang berada di bawah nisan tersebut adalah makam seorang wanita muslim. Hal itu dapat dilihat dari ukirannya yang sangat indah dan penuh sehingga nampak unik.
Ditemukannya nisan (makam kuno) di luar area permakaman Pangeran Iranata semakin menambah minat para peneliti untuk datang ke lokasi ini. Faktor melimpahnya artefak sejarah menjadikan lokasi ini semakin mendapatkan tempat sebagai sebuah tempat kajian arkeologis.
C. Lokasi
Makam Pangeran Iranata terletak di Desa Negeri Baru, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang atau sekitar 5 km dari pusat kota Ketapang.
D. Harga Tiket
Pengunjung yang akan berziarah ke Makam Pangeran Iranata tidak dipungut biaya masuk.
E. Akses
Lokasi Makam Pangeran Iranata dapat dicapai sekitar 20 menit dengan mobil dari Keraton Kerajaan Matan atau 25 menit dari pusat kota Ketapang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Para pengunjung yang ingin mendapatkan informasi seputar makam bisa menghubungi juru kunci makam yang tinggal tidak jauh dari makam.
Makam Keramat Tujuh
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Makam Keramat Tujuh adalah sebuah kompleks permakaman tua tempat kerabat Kesultanan Matan dimakamkan. Kompleks ini dinamakan Keramat Tujuh karena sewaktu ditemukan, di kompleks ini hanya terdapat tujuh batu nisan (makam). Walaupun kemudian ditemukan beberapa batu nisan lagi, kompleks ini tetap disebut dengan nama Makam Keramat Tujuh.
Pada momen-momen tertentu, seperti hari-hari besar agama Islam, kompleks ini ramai oleh pengunjung. Para pengunjung tidak hanya berasal dari daerah setempat, tetapi ada juga yang datang dari luar negeri, misalnya Jerman, Amerika, Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Mereka datang ke Makam Keramat Tujuh dengan tujuan yang berbeda-beda. Sebagian besar memang datang untuk melakukan ziarah. Namun, ada juga yang datang dengan tujuan untuk melakukan penelitian sejarah, misalnya para arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Dengan meneliti Makam Keramat Tujuh, para peneliti ini berusaha mencari tahu tentang penyebaran Islam di nusantara.
Di Makam Keramat Tujuh, terdapat sebuah nisan yang berangka tahun 1363 Saka (1441 Masehi). Angka tahun ini menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke Ketapang (dulu Kerajaan Tanjungpura) sebelum tahun 1441 Masehi. Dengan demikian, Makam Keramat Tujuh merupakan bukti sejarah tertua tentang penyebaran Islam di Kalimantan Barat yang diprakarsai oleh Kerajaan Tanjungpura. Angka tahun 1441 Masehi juga membuktikan bahwa peradaban Islam telah masuk ke Kalimantan Barat seiring dengan zaman keemasan Islam di Melaka.
Bentuk nisan di kompleks ini dipengaruhi oleh ciri-ciri keislaman yang sangat kental. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kerajaan Tanjungpura telah mengenal Islam sebelum tahun 1441 Masehi. Selain itu, bentuk nisan juga menandakan bahwa masyarakat di Kerajaan Tanjungpura telah melaksanakan prosesi pemakaman dengan cara-cara yang Islami.
Makam Keramat Tujuh begitu signifikan bagi Ketapang hingga dijadikan sebagai tolok ukur untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Ketapang, yaitu 1363 Saka (1441 Masehi). Walaupun demikian, hari jadi ini masih dapat berubah karena ada kemungkinan bahwa terdapat nisan lain yang usianya lebih tua daripada tarikh itu.
B. Keistimewaan
Makam Keramat Tujuh dipercaya memiliki tuah dan sering menjadi tempat untuk mencari berkah. Ada pula pengunjung yang menjadikan makam ini sebagai tempat untuk menunaikan nazar dan mencari obat.
Selain berfungsi sebagai areal permakaman, Makam Keramat Tujuh juga sekaligus sebagai “laboratorium” sejarah. Pasalnya, di makam ini banyak ditemukan artefak sejarah yang mengacu pada situasi masa lampau di daerah kekuasaan Kerajaan Tanjungpura, Kalimantan Barat.
C. Lokasi
Makam Keramat Tujuh terletak di Jalan Pangeran Kusuma Jaya, Ketapang, kira-kira 4 km dari Kelurahan Mulia Kerta.
D. Harga Tiket
Pengunjung yang akan berziarah ke Makam Keramat Tujuh tidak dipungut biaya masuk.
E. Akses
Makam ini dapat dicapai sekitar 10 menit dengan mobil dari Keraton Kerajaan Matan atau 15 menit dari pusat kota Ketapang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Di kompleks makam ini, terdapat sebuah pendopo yang biasanya digunakan oleh apra pengunjung untuk melepas lelah. Rumah juru kunci makam terletak tak jauh dari makam. Juru kunci inilah yang biasanya memandu para pengunjung untuk mengenal lebih jauh tentang Makam Keramat Tujuh.
Kabupaten Ketapang
A. Selayang Pandang
Makam Keramat Tujuh adalah sebuah kompleks permakaman tua tempat kerabat Kesultanan Matan dimakamkan. Kompleks ini dinamakan Keramat Tujuh karena sewaktu ditemukan, di kompleks ini hanya terdapat tujuh batu nisan (makam). Walaupun kemudian ditemukan beberapa batu nisan lagi, kompleks ini tetap disebut dengan nama Makam Keramat Tujuh.
Pada momen-momen tertentu, seperti hari-hari besar agama Islam, kompleks ini ramai oleh pengunjung. Para pengunjung tidak hanya berasal dari daerah setempat, tetapi ada juga yang datang dari luar negeri, misalnya Jerman, Amerika, Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Mereka datang ke Makam Keramat Tujuh dengan tujuan yang berbeda-beda. Sebagian besar memang datang untuk melakukan ziarah. Namun, ada juga yang datang dengan tujuan untuk melakukan penelitian sejarah, misalnya para arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Dengan meneliti Makam Keramat Tujuh, para peneliti ini berusaha mencari tahu tentang penyebaran Islam di nusantara.
Di Makam Keramat Tujuh, terdapat sebuah nisan yang berangka tahun 1363 Saka (1441 Masehi). Angka tahun ini menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke Ketapang (dulu Kerajaan Tanjungpura) sebelum tahun 1441 Masehi. Dengan demikian, Makam Keramat Tujuh merupakan bukti sejarah tertua tentang penyebaran Islam di Kalimantan Barat yang diprakarsai oleh Kerajaan Tanjungpura. Angka tahun 1441 Masehi juga membuktikan bahwa peradaban Islam telah masuk ke Kalimantan Barat seiring dengan zaman keemasan Islam di Melaka.
Bentuk nisan di kompleks ini dipengaruhi oleh ciri-ciri keislaman yang sangat kental. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kerajaan Tanjungpura telah mengenal Islam sebelum tahun 1441 Masehi. Selain itu, bentuk nisan juga menandakan bahwa masyarakat di Kerajaan Tanjungpura telah melaksanakan prosesi pemakaman dengan cara-cara yang Islami.
Makam Keramat Tujuh begitu signifikan bagi Ketapang hingga dijadikan sebagai tolok ukur untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Ketapang, yaitu 1363 Saka (1441 Masehi). Walaupun demikian, hari jadi ini masih dapat berubah karena ada kemungkinan bahwa terdapat nisan lain yang usianya lebih tua daripada tarikh itu.
B. Keistimewaan
Makam Keramat Tujuh dipercaya memiliki tuah dan sering menjadi tempat untuk mencari berkah. Ada pula pengunjung yang menjadikan makam ini sebagai tempat untuk menunaikan nazar dan mencari obat.
Selain berfungsi sebagai areal permakaman, Makam Keramat Tujuh juga sekaligus sebagai “laboratorium” sejarah. Pasalnya, di makam ini banyak ditemukan artefak sejarah yang mengacu pada situasi masa lampau di daerah kekuasaan Kerajaan Tanjungpura, Kalimantan Barat.
C. Lokasi
Makam Keramat Tujuh terletak di Jalan Pangeran Kusuma Jaya, Ketapang, kira-kira 4 km dari Kelurahan Mulia Kerta.
D. Harga Tiket
Pengunjung yang akan berziarah ke Makam Keramat Tujuh tidak dipungut biaya masuk.
E. Akses
Makam ini dapat dicapai sekitar 10 menit dengan mobil dari Keraton Kerajaan Matan atau 15 menit dari pusat kota Ketapang.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Di kompleks makam ini, terdapat sebuah pendopo yang biasanya digunakan oleh apra pengunjung untuk melepas lelah. Rumah juru kunci makam terletak tak jauh dari makam. Juru kunci inilah yang biasanya memandu para pengunjung untuk mengenal lebih jauh tentang Makam Keramat Tujuh.
Keraton Ismahayana Landak
A. Selayang Pandang
Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang. Kisah itu berawal pada tahun 1275 M di mana Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, Jawa, mengirim para prajurit untuk memperluas kekuasaannya hingga ke kawasan Sumatra Tengah. Muhibah ini dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi Pamalayu berlangsung hingga tahun 1292 M. Ketika para punggawa dan prajurit ekspedisi ini harus kembali ke tanah Jawa lantaran Raja Kertanegara wafat, Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin salah satu rombongan, membelokkan armada pasukannya menuju Nusa Tanjungpura, yang kini dikenal sebagai Borneo atau Pulau Kalimantan.
Di pulau yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia ini, rombongan tersebut awalnya singgah di daerah Padang Tikar, kemudian menyusuri Sungai Tenganap, dan akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang disebut juga Sepatah. Di tempat inilah, Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur.
Periode pemerintahan Kerajaan Landak di Ningrat Batur berlangsung 180 tahun (1292—1472 M) lamanya. Selama di Ningrat Batur, kerajaan ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Pada masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu. Di istana ini, beliau menikahi Putri Dara Hitam yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putera mahkota. Setelah raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putera mahkota kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana (memerintah tahun 1472—1542).
Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke area hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Pada masa inilah pengaruh Islam mulai masuk. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar. Setelah Pangeran Ismahayana wafat, ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran (Raden) Kusuma Agung Muda, yang menjadi Sultan Landak ke IX. Pada masa pemerintahannya, pusat kekuasaan dipindahkan dari daerah Mungguk Ayu menuju Bandong (sebagian menyebutnya Bandung) pada tahun 1703, sebuah wilayah yang letaknya tidak jauh dari Mungguk Ayu.
Kesultanan Landak di Bandong hanya bertahan hingga dua periode pemerintahan (1703—1768). Tampuk kekuasaan hanya sempat dipegang oleh Raden Kusuma Agung Muda (1703—1709) dan putranya, Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764). Sepeninggalan Raden Nata Tua, jalannya pemerintahan untuk sementara dikendalikan oleh wakil raja, yakni Raden Anom Jaya Kusuma (1764—1768), sembari menunggu sang putera mahkota tumbuh dewasa.
Tatkala usia pemerintahan peralihan ini belum genap 4 tahun, ibu kota kesultanan dipindahkan dari Bandong ke Kota Ngabang pada tahun 1768 oleh wakil raja tersebut. Kesultanan Landak kemudian menetapkan Kota Ngabang sebagai ibu kota yang baru pada tahun 1768. Peristiwa hijrah ke Ngabang ini sekaligus mentahbiskan putera mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma, sebagai Sultan Landak XII (1768—1798).
Lembaran baru Kesultanan Landak di Ngabang ternyata tidak membawa kemajuan yang berarti hingga hampir dua abad lamanya. Terlebih pascakedatangan Belanda di Borneo. Menyadari mandeknya perkembangan kesultanan selama itu disebabkan oleh Belanda, Sultan Landak beserta rakyatnya kemudian melakukan pemberontakan. Beberapa perlawanan ketika itu antara lain: pemberontakan Ratu Adil (1831), pemberontakan Gusti Kandut (1890), dan pemberontakan Gusti Abdurrani (1899). Memasuki masa kemerdekaan, posisi Kesultanan Landak tak kunjung membaik lantaran kesultanan ini hanya dijadikan simbol budaya, sehingga vakum dalam waktu yang lama.
Setelah mengalami kevakuman tampuk kepemimpinan yang cukup lama, baru pada tahun 2000, atas persetujuan rakyat Landak, Kesultanan Landak dibangunkan dari tidurnya yang panjang dengan Gusti Suryansyah Amiruddin sebagai sultannya. Jika dirunut dari awal, Gusti Suryansyah merupakan sultan ke-39 semenjak Kerajaan Landak berdiri.
Beliau mewarisi bangunan istana Kesultanan Landak di Ngabang yang terdiri dari tiga bagian, yakni: (1) kompleks istana mencakup: Istana Landak (Istana Ilir), Kediaman Permaisuri (Istana Ulu), serta Kediaman Neang Raja (rumah sultan); (2) Masjid Djami Keraton Landak; dan (3) makam raja-raja. Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian istana. Selain itu, perbaikan bangunan telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti renovasi yang dikerjakan selama 4 tahun (1978—1982) dan diresmikan oleh Haryati Subadio, Dirjen Kebudayaan kala itu, pada tanggal 4 Oktober 1983. Sementara, kondisi kompleks Keraton Landak saat ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.
B. Keistimewaan
Mengunjungi istana ini terbilang istimewa, lantaran Anda bukan hanya dapat menikmati kekhasan seni rancang-bangun rumah panggung Istana Kesultanan Landak, melainkan juga koleksi-koleksi bendawi yang bernilai sejarah yang dipajang di sana. Selebihnya, Anda pun dapat menikmati keindahan Sungai Pinyuh dari gardu pandang istana yang terletak tidak jauh dari halaman Istana Ilir. Namun, sebelum itu, ada baiknya bila Anda menilik seperti apa istana dan juga sejarah yang menaungi Kerajaan Landak dengan berkeliling kompleks istana terlebih dahulu.
Istana Landak di Ngabang yang dibangun menghadap ke Sungai Pinyuh ini berupa rangkaian rumah panggung khas Melayu Kalimantan Barat yang memanjang ke belakang. Istana ini memiliki fondasi, lantai dan dinding, serta atap sirap dari kayu belian sebagai bahan utamanya. Bangunan istana yang memiliki kombinasi bentuk atap pelana dan limasan ini terdiri atas dua bagian, yaitu balairung atau tempat pertemuan (bagian depan) dan tempat tinggal sultan (bagian belakang). Kedua bagian istana tersebut dihubungkan oleh selasar yang juga terbuat dari kayu belian.
Keraton ini kini berlaku sebagai museum, tempat memamerkan koleksi-koleksi bendawi peninggalan sultan-sultan sebelum Gusti Suryansyah Amiruddin. Tempat memajang segala benda bersejarah peninggalan Kerajaan Landak masa lampau berada di Istana Ilir. Sementara, Istana Ulu berfungsi sebagai tempat tinggal para kerabat sultan. Museum ini terdiri dari empat ruangan di mana masing-masing menampilkan jenis yang berbeda dari keseluruhan koleksinya.
Ruang pertama merupakan ruang yang dulunya dipakai untuk menerima para tamu kerajaan. Di sini, Anda akan mengenal bagaimana sejarah dan perkembangan Kerajaan Landak secara singkat. Pemandu akan menceriterakan pada Anda bagaimana sepak-terjang para sultan dan rakyatnya di masa lampau. Atau, Anda juga dapat membacanya pada Lontar Sejarah Singkat Kerajaan Landak yang dipampang di salah satu dinding ruangan yang dipercantik dengan dua perangkat meja-kursi ini. Selain itu, di tempat ini Anda juga dapat mengenal lebih jauh siapa saja raja yang pernah memerintah dan bagaimana silsilahnya.
Selanjutnya, Anda akan diajak sang pemandu untuk memasuki ruang kedua atau ruang tengah di mana pada masa lalu ruang ini berfungsi sebagai tempat singgasana raja dan permaisurinya. Sekarang, di tempat ini Anda dapat menyaksikan pelbagai dokumentasi foto kerabat raja. Sajian dokumentasi kerajaan berupa foto-foto berbagai peristiwa di masa lalu yang dibingkai apik dan tersusun mengelilingi dinding dari kayu belian. Di salah satu sisi ruangan, terpajang dengan rapi replika singgasana raja dan permaisuri dengan warna yang cerah bernuansa Melayu (kuning keemasan dan hijau) beserta panji-panji kerajaan yang berjajar di samping kanan dan kiri singgasana. Ruangan ini juga diperkaya dengan hiasan-hiasan rumah Melayu, seperti tirai jendela berwarna kuning dan lain sebagainya.
Usai menyaksikan hal-hal di atas, pemandu akan menunjukkan koleksi peninggalan Kesultanan Landak yang tergolong sebagai warisan budaya dan sejarah. Di antaranya: Mahkota Sultan Landak, Keris Sikanyut, sepasang pedang sakti, tempat tidur panembahan dan isterinya, duplikat payung kebesaran sultan, dua kipas raja, seperangkat gamelan, dan Al Quran kuna. Selain itu, ada juga artefak-artefak lain seperti: Meriam Sipenyuk dan empat buah meriam lainnya, lontar silsilah raja dan sejarah singkat Kesultanan Landak, foto-foto keluarga sultan, bendera kesultanan, serta perlengkapan upacara perkawinan adat berupa timbangan dari kayu.
Di utara istana, berdiri Masjid Djami‘ Keraton Landak yang hingga kini masih terawat dengan baik. Masjid ini dibangun oleh Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895—1899). Selain itu, di kompleks Keraton Landak juga terdapat makam raja-raja dan para kerabatnya yang terletak + 100 m di barat Masjid Djami‘ Keraton Landak. Oleh sebagian orang, kompleks pemakaman ini dianggap keramat dan bertuah lantaran dapat mendatangkan berkah. Makam ini khas, dengan bentuk nisan yang menandakan perbedaan antara makam laki-laki dan perempuan. Nisan berbentuk bulat untuk laki-laki, sedangkan makam perempuan bernisan pipih.
Usai menjelajah kompleks istana, tentunya Anda akan diajak mampir ke Gardu Pandang. Gardu Pandang istana ini berada tepat di bantaran Sungai Pinyuh. Tempat ini dulunya berfungsi semacam terminal untuk perahu-perahu para tamu sultan Landak. Di sini, sembari berelaksasi, Anda bisa menyaksikan indahnya pemandangan air sungai yang mengalir pelan dan pohon-pohon yang rimbun.
C. Lokasi
Istana Landak terletak sekitar 50 meter di sebelah barat Sungai Pinyuh yang membelah Kota Ngabang. Keberadaan sungai yang masih difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai jalur transportasi air ini, menuju ke arah Mungguk. Keraton atau Istana Kesultanan Landak terletak di Jalan Pangeran Sancanata, Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Dari terminal bus di Ibu Kota Kabupaten Landak, Ngabang, wisatawan dapat naik ojek yang berada di sekitar terminal dengan ongkos sekitar Rp 10.000,- untuk menuju ke Jalan Pangeran Sancanata (November 2008). Sesampainya di jalan ini, Anda dapat langsung melihat kompleks Keraton Landak yang terletak di tepi jalan.
E. Harga Tiket
Wisatawan tidak dipungut biaya alias gratis. Kendati demikian, diharapkan pengunjung memiliki kesadaran untuk memberikan sedikit uang sebagai biaya perawatan dan fasilitas pemandu selama berwisata di istana ini.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Sebagai bagian dari layanan kunjungan ke kompleks istana ini, pelancong akan mendapatkan pelayanan pemandu wisata. Sang pemandu, yang notabene masih kerabat Keraton Landak, akan menuturkan berbagai kisah dengan baik bagaimana sejarah keraton ini. Selain itu, wisatawan akan memperoleh keterangan-keterangan singkat mengenai seni rancang-bangun, koleksi, dan sebagainya.
Bagi Anda yang menyempatkan berziarah ke makam raja Landak di Ngabang, akan didampingi oleh seorang pemandu wisata sebagai rangkaian kunjungan ke Istana Ismahayana Landak. Dari pemandu ini, Anda akan memperoleh informasi pelbagai kisah tentang kompleks makam raja-raja dan beberapa kerabatnya.
Selain itu, juga tersedia kamar kecil dan masjid sebagai fasilitas wisatawan. Bila ingin mencari rumah makan dan penginapan, maka kunjungilah pusat Kota Ngabang yang berjarak + 2 km dari kompleks Keraton Landak ini. Di pusat kota, berbagai fasilitas yang memadai bagi wisatawan dapat dengan mudah ditemukan.
A. Selayang Pandang
Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang. Kisah itu berawal pada tahun 1275 M di mana Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, Jawa, mengirim para prajurit untuk memperluas kekuasaannya hingga ke kawasan Sumatra Tengah. Muhibah ini dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi Pamalayu berlangsung hingga tahun 1292 M. Ketika para punggawa dan prajurit ekspedisi ini harus kembali ke tanah Jawa lantaran Raja Kertanegara wafat, Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin salah satu rombongan, membelokkan armada pasukannya menuju Nusa Tanjungpura, yang kini dikenal sebagai Borneo atau Pulau Kalimantan.
Di pulau yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia ini, rombongan tersebut awalnya singgah di daerah Padang Tikar, kemudian menyusuri Sungai Tenganap, dan akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang disebut juga Sepatah. Di tempat inilah, Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur.
Periode pemerintahan Kerajaan Landak di Ningrat Batur berlangsung 180 tahun (1292—1472 M) lamanya. Selama di Ningrat Batur, kerajaan ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Pada masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu. Di istana ini, beliau menikahi Putri Dara Hitam yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putera mahkota. Setelah raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putera mahkota kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana (memerintah tahun 1472—1542).
Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke area hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Pada masa inilah pengaruh Islam mulai masuk. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar. Setelah Pangeran Ismahayana wafat, ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran (Raden) Kusuma Agung Muda, yang menjadi Sultan Landak ke IX. Pada masa pemerintahannya, pusat kekuasaan dipindahkan dari daerah Mungguk Ayu menuju Bandong (sebagian menyebutnya Bandung) pada tahun 1703, sebuah wilayah yang letaknya tidak jauh dari Mungguk Ayu.
Kesultanan Landak di Bandong hanya bertahan hingga dua periode pemerintahan (1703—1768). Tampuk kekuasaan hanya sempat dipegang oleh Raden Kusuma Agung Muda (1703—1709) dan putranya, Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764). Sepeninggalan Raden Nata Tua, jalannya pemerintahan untuk sementara dikendalikan oleh wakil raja, yakni Raden Anom Jaya Kusuma (1764—1768), sembari menunggu sang putera mahkota tumbuh dewasa.
Tatkala usia pemerintahan peralihan ini belum genap 4 tahun, ibu kota kesultanan dipindahkan dari Bandong ke Kota Ngabang pada tahun 1768 oleh wakil raja tersebut. Kesultanan Landak kemudian menetapkan Kota Ngabang sebagai ibu kota yang baru pada tahun 1768. Peristiwa hijrah ke Ngabang ini sekaligus mentahbiskan putera mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma, sebagai Sultan Landak XII (1768—1798).
Lembaran baru Kesultanan Landak di Ngabang ternyata tidak membawa kemajuan yang berarti hingga hampir dua abad lamanya. Terlebih pascakedatangan Belanda di Borneo. Menyadari mandeknya perkembangan kesultanan selama itu disebabkan oleh Belanda, Sultan Landak beserta rakyatnya kemudian melakukan pemberontakan. Beberapa perlawanan ketika itu antara lain: pemberontakan Ratu Adil (1831), pemberontakan Gusti Kandut (1890), dan pemberontakan Gusti Abdurrani (1899). Memasuki masa kemerdekaan, posisi Kesultanan Landak tak kunjung membaik lantaran kesultanan ini hanya dijadikan simbol budaya, sehingga vakum dalam waktu yang lama.
Setelah mengalami kevakuman tampuk kepemimpinan yang cukup lama, baru pada tahun 2000, atas persetujuan rakyat Landak, Kesultanan Landak dibangunkan dari tidurnya yang panjang dengan Gusti Suryansyah Amiruddin sebagai sultannya. Jika dirunut dari awal, Gusti Suryansyah merupakan sultan ke-39 semenjak Kerajaan Landak berdiri.
Beliau mewarisi bangunan istana Kesultanan Landak di Ngabang yang terdiri dari tiga bagian, yakni: (1) kompleks istana mencakup: Istana Landak (Istana Ilir), Kediaman Permaisuri (Istana Ulu), serta Kediaman Neang Raja (rumah sultan); (2) Masjid Djami Keraton Landak; dan (3) makam raja-raja. Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian istana. Selain itu, perbaikan bangunan telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti renovasi yang dikerjakan selama 4 tahun (1978—1982) dan diresmikan oleh Haryati Subadio, Dirjen Kebudayaan kala itu, pada tanggal 4 Oktober 1983. Sementara, kondisi kompleks Keraton Landak saat ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.
B. Keistimewaan
Mengunjungi istana ini terbilang istimewa, lantaran Anda bukan hanya dapat menikmati kekhasan seni rancang-bangun rumah panggung Istana Kesultanan Landak, melainkan juga koleksi-koleksi bendawi yang bernilai sejarah yang dipajang di sana. Selebihnya, Anda pun dapat menikmati keindahan Sungai Pinyuh dari gardu pandang istana yang terletak tidak jauh dari halaman Istana Ilir. Namun, sebelum itu, ada baiknya bila Anda menilik seperti apa istana dan juga sejarah yang menaungi Kerajaan Landak dengan berkeliling kompleks istana terlebih dahulu.
Istana Landak di Ngabang yang dibangun menghadap ke Sungai Pinyuh ini berupa rangkaian rumah panggung khas Melayu Kalimantan Barat yang memanjang ke belakang. Istana ini memiliki fondasi, lantai dan dinding, serta atap sirap dari kayu belian sebagai bahan utamanya. Bangunan istana yang memiliki kombinasi bentuk atap pelana dan limasan ini terdiri atas dua bagian, yaitu balairung atau tempat pertemuan (bagian depan) dan tempat tinggal sultan (bagian belakang). Kedua bagian istana tersebut dihubungkan oleh selasar yang juga terbuat dari kayu belian.
Keraton ini kini berlaku sebagai museum, tempat memamerkan koleksi-koleksi bendawi peninggalan sultan-sultan sebelum Gusti Suryansyah Amiruddin. Tempat memajang segala benda bersejarah peninggalan Kerajaan Landak masa lampau berada di Istana Ilir. Sementara, Istana Ulu berfungsi sebagai tempat tinggal para kerabat sultan. Museum ini terdiri dari empat ruangan di mana masing-masing menampilkan jenis yang berbeda dari keseluruhan koleksinya.
Ruang pertama merupakan ruang yang dulunya dipakai untuk menerima para tamu kerajaan. Di sini, Anda akan mengenal bagaimana sejarah dan perkembangan Kerajaan Landak secara singkat. Pemandu akan menceriterakan pada Anda bagaimana sepak-terjang para sultan dan rakyatnya di masa lampau. Atau, Anda juga dapat membacanya pada Lontar Sejarah Singkat Kerajaan Landak yang dipampang di salah satu dinding ruangan yang dipercantik dengan dua perangkat meja-kursi ini. Selain itu, di tempat ini Anda juga dapat mengenal lebih jauh siapa saja raja yang pernah memerintah dan bagaimana silsilahnya.
Selanjutnya, Anda akan diajak sang pemandu untuk memasuki ruang kedua atau ruang tengah di mana pada masa lalu ruang ini berfungsi sebagai tempat singgasana raja dan permaisurinya. Sekarang, di tempat ini Anda dapat menyaksikan pelbagai dokumentasi foto kerabat raja. Sajian dokumentasi kerajaan berupa foto-foto berbagai peristiwa di masa lalu yang dibingkai apik dan tersusun mengelilingi dinding dari kayu belian. Di salah satu sisi ruangan, terpajang dengan rapi replika singgasana raja dan permaisuri dengan warna yang cerah bernuansa Melayu (kuning keemasan dan hijau) beserta panji-panji kerajaan yang berjajar di samping kanan dan kiri singgasana. Ruangan ini juga diperkaya dengan hiasan-hiasan rumah Melayu, seperti tirai jendela berwarna kuning dan lain sebagainya.
Usai menyaksikan hal-hal di atas, pemandu akan menunjukkan koleksi peninggalan Kesultanan Landak yang tergolong sebagai warisan budaya dan sejarah. Di antaranya: Mahkota Sultan Landak, Keris Sikanyut, sepasang pedang sakti, tempat tidur panembahan dan isterinya, duplikat payung kebesaran sultan, dua kipas raja, seperangkat gamelan, dan Al Quran kuna. Selain itu, ada juga artefak-artefak lain seperti: Meriam Sipenyuk dan empat buah meriam lainnya, lontar silsilah raja dan sejarah singkat Kesultanan Landak, foto-foto keluarga sultan, bendera kesultanan, serta perlengkapan upacara perkawinan adat berupa timbangan dari kayu.
Di utara istana, berdiri Masjid Djami‘ Keraton Landak yang hingga kini masih terawat dengan baik. Masjid ini dibangun oleh Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895—1899). Selain itu, di kompleks Keraton Landak juga terdapat makam raja-raja dan para kerabatnya yang terletak + 100 m di barat Masjid Djami‘ Keraton Landak. Oleh sebagian orang, kompleks pemakaman ini dianggap keramat dan bertuah lantaran dapat mendatangkan berkah. Makam ini khas, dengan bentuk nisan yang menandakan perbedaan antara makam laki-laki dan perempuan. Nisan berbentuk bulat untuk laki-laki, sedangkan makam perempuan bernisan pipih.
Usai menjelajah kompleks istana, tentunya Anda akan diajak mampir ke Gardu Pandang. Gardu Pandang istana ini berada tepat di bantaran Sungai Pinyuh. Tempat ini dulunya berfungsi semacam terminal untuk perahu-perahu para tamu sultan Landak. Di sini, sembari berelaksasi, Anda bisa menyaksikan indahnya pemandangan air sungai yang mengalir pelan dan pohon-pohon yang rimbun.
C. Lokasi
Istana Landak terletak sekitar 50 meter di sebelah barat Sungai Pinyuh yang membelah Kota Ngabang. Keberadaan sungai yang masih difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai jalur transportasi air ini, menuju ke arah Mungguk. Keraton atau Istana Kesultanan Landak terletak di Jalan Pangeran Sancanata, Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Dari terminal bus di Ibu Kota Kabupaten Landak, Ngabang, wisatawan dapat naik ojek yang berada di sekitar terminal dengan ongkos sekitar Rp 10.000,- untuk menuju ke Jalan Pangeran Sancanata (November 2008). Sesampainya di jalan ini, Anda dapat langsung melihat kompleks Keraton Landak yang terletak di tepi jalan.
E. Harga Tiket
Wisatawan tidak dipungut biaya alias gratis. Kendati demikian, diharapkan pengunjung memiliki kesadaran untuk memberikan sedikit uang sebagai biaya perawatan dan fasilitas pemandu selama berwisata di istana ini.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Sebagai bagian dari layanan kunjungan ke kompleks istana ini, pelancong akan mendapatkan pelayanan pemandu wisata. Sang pemandu, yang notabene masih kerabat Keraton Landak, akan menuturkan berbagai kisah dengan baik bagaimana sejarah keraton ini. Selain itu, wisatawan akan memperoleh keterangan-keterangan singkat mengenai seni rancang-bangun, koleksi, dan sebagainya.
Bagi Anda yang menyempatkan berziarah ke makam raja Landak di Ngabang, akan didampingi oleh seorang pemandu wisata sebagai rangkaian kunjungan ke Istana Ismahayana Landak. Dari pemandu ini, Anda akan memperoleh informasi pelbagai kisah tentang kompleks makam raja-raja dan beberapa kerabatnya.
Selain itu, juga tersedia kamar kecil dan masjid sebagai fasilitas wisatawan. Bila ingin mencari rumah makan dan penginapan, maka kunjungilah pusat Kota Ngabang yang berjarak + 2 km dari kompleks Keraton Landak ini. Di pusat kota, berbagai fasilitas yang memadai bagi wisatawan dapat dengan mudah ditemukan.
Istana Al Mukarrammah Sintang
A. Selayang Pandang
Konon, asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu dari Semenanjung Malaka (ada pula yang mengatakan berasal dari Jawa) bernama Aji Melayu. Ia datang ke daerah Nanga Sepauk (sekitar 50 km dari Kota Sintang) pada abad ke-4 dan mendirikan perkampungan baru di tempat itu. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut ‘Batu Kelebut Aji Melayu‘. Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.
Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan oleh Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada abad ke-13 (+ 1262 M). Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas (yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang). Mulanya daerah ini diberi nama senetang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan senetang kemudian berubah menjadi sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu yang kini berada di halaman Istana Sintang ini oleh masyarakat setempat dianggap keramat dan memiliki tuah.
Pada masa Kerajaan Sintang Hindu, Istana Sintang dibangun berdasarkan arsitektur rumah panjang, rumah khas masyarakat Dayak. Namun, setelah Kerajaan Sintang menganut agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri Danu Perdana, dibangunlah gedung istana yang baru dengan nama Istana Al Mukarrammah. Istana ini dibangun pada tahun 1937 dengan arsitek seorang Belanda. Konstruksi bangunannya masih menggunakan struktur rangka kayu, tetapi dengan pondasi tiang bersepatu beton. Atap istana yang terbuat dari sirap kayu belian juga diperkuat dengan plafon dari semen asbes. Demikian pula dinding istana dilapisi dengan semen setebal + 3 cm. Sampai saat ini, kompleks Istana Sintang masih terawat dengan baik.
Di sebelah barat istana, terdapat bangunan masjid dengan nama Masjid Jamik Sultan Nata Sintang. Di bagian muka masjid itu, terdapat jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Jembatan ini dibangun untuk memudahkan raja dan kerabat istana melaksanakan shalat di masjid. Konstruksi awal masjid ini dibangun pada masa Pangeran Tunggal dengan kapasitas sekitar 50 orang. Perbaikan dan perluasan masjid kemudian dilakukan oleh penerusnya, yakni Sultan Nata pada tahun 1672 M.
Selain bangunan istana dan masjid, ciri khas kompleks istana Melayu adalah makam atau tempat peristirahatan terakhir raja. Ada beberapa makam yang dianggap penting dalam perjalanan sejarah Kerajaan Sintang, antara lain: Makam Aji Melayu yang terdapat di Desa Tanjung Ria, Kecamaan Sepauk (sekitar 55 km dari Ibukota Kabupaten Sintang); Makam Jubair Irawan I, raja pertama Kerajaan Sintang, yang terletak di Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang (sekitar 3 km dari Kota Sintang); Makam Raja-raja Sintang di daerah Kampung Sei Durian, Kecamatan Sintang; serta Makam Kerabat Istana yang terletak di belakang Istana Sintang.
B. Keistimewaan
Dari tepian Sungai Kapuas, lansekap istana ini tampak seperti rumah besar yang anggun dengan dua bangunan pengiring di sisi kanan dan sisi kirinya. Bangunan utama terletak di bagian tengah agak ke depan, sedangkan dua bangunan lainnya mengapit di kedua sisi bangunan utama. Bangunan utama terdiri dari serambi depan, ruang tamu, ruang pribadi sultan, serta serambi belakang. Bangunan pengiring di sisi barat bangunan utama digunakan sebagai ruang istirahat dan ruang keluarga sultan, sementara yang di sisi timur difungsikan sebagai ruang tidur tamu sultan. Secara keseluruhan Istana Al Mukarrammah Sintang memiliki luas bangunan sekitar 652 m2.
Hingga saat ini, Istana Sintang masih digunakan sebagai kediaman sultan, yaitu Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M Ikhsan Perdana yang dinobatkan pada 22 Juli 2006 lalu. Hanya saja, bangunan pengiring di sisi barat kediaman sultan saat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Kerajaan Sintang, sementara di sisi timur, selain sebagian digunakan untuk menyimpan foto dan lukisan raja-raja Sintang, juga dimanfaatkan sebagai ruang kelas Taman kanak-kanak (TK) Dara Djuanti.
Dari teras bangunan utama, wisatawan dapat memandang taman rumput yang cukup luas di halaman depan istana, juga dermaga kecil, serta pertemuan aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Berbeda dengan keraton-keraton di Jawa, keraton-keraton Melayu umumnya dibangun di sisi sungai besar. Istana Kadriah Pontianak, Keraton Paku-Surya Negara Sanggau, serta Keraton Ismahayana Landak juga dibangun di tepi sungai. Hal ini menyiratkan bahwa “jalan raya” yang menjadi nadi lalu-lintas utama ketika itu adalah jalur sungai.
Selain dapat menikmati lansekap istana, para pelancong juga dapat menyaksikan berbagai macam benda-benda bersejarah di istana ini. Di halaman istana, Anda dapat menyaksikan sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang. Di serambi depan istana, para turis dapat melihat salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Nata (disalin ulang pada tahun 1939) serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang. Sedangkan pada bangunan sisi barat dan timur pengunjung dapat melihat koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam (seperti talam, kempu, dan bokor), koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.
Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari Majapahit.
C. Lokasi
Kompleks istana ini terletak di ‘kampung sultan‘, yaitu sebutan lain dari Kampung Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Untuk mencapai istana ini, para pelancong dapat menggunakan bus atau mobil sewaan dari Kota Pontianak (Ibukota Provinsi Kalbar) menuju Kota Sintang selama + 9 jam. Dari Kota Sintang, tepatnya di Terminal Pasar Durian, wisatawan dapat menumpang perahu motor untuk menyeberang Sungai Kapuas menuju istana dengan ongkos sekitar Rp 3.000 per orang (September 2009).
E. Harga Tiket
Memasuki kompleks Istana Al Mukarrammah Sintang tidak dipungut biaya. Namun, para pelancong dianjurkan untuk menyumbang dana seikhlasnya pada kotak sumbangan yang disediakan di ruang pamer koleksi istana.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Kompleks Istana Sintang memiliki fasilitas berupa masjid yang lengkap dengan tempat wudu dan toilet yang dapat digunakan oleh para pengunjung masjid. Selain itu, istana ini juga memiliki taman rumput, dermaga pandang di tepi sungai, serta area parkir yang cukup memadai. Untuk keperluan yang lebih kompleks, seperti kebutuhan penginapan, rumah makan, serta belanja buah dan makanan khas Kota Sintang, para para pelancong dapat memperolehnya di Kota Sintang, terutama di sekitar Terminal Pasar Durian.
A. Selayang Pandang
Konon, asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu dari Semenanjung Malaka (ada pula yang mengatakan berasal dari Jawa) bernama Aji Melayu. Ia datang ke daerah Nanga Sepauk (sekitar 50 km dari Kota Sintang) pada abad ke-4 dan mendirikan perkampungan baru di tempat itu. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut ‘Batu Kelebut Aji Melayu‘. Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.
Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan oleh Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada abad ke-13 (+ 1262 M). Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas (yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang). Mulanya daerah ini diberi nama senetang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan senetang kemudian berubah menjadi sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu yang kini berada di halaman Istana Sintang ini oleh masyarakat setempat dianggap keramat dan memiliki tuah.
Pada masa Kerajaan Sintang Hindu, Istana Sintang dibangun berdasarkan arsitektur rumah panjang, rumah khas masyarakat Dayak. Namun, setelah Kerajaan Sintang menganut agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri Danu Perdana, dibangunlah gedung istana yang baru dengan nama Istana Al Mukarrammah. Istana ini dibangun pada tahun 1937 dengan arsitek seorang Belanda. Konstruksi bangunannya masih menggunakan struktur rangka kayu, tetapi dengan pondasi tiang bersepatu beton. Atap istana yang terbuat dari sirap kayu belian juga diperkuat dengan plafon dari semen asbes. Demikian pula dinding istana dilapisi dengan semen setebal + 3 cm. Sampai saat ini, kompleks Istana Sintang masih terawat dengan baik.
Di sebelah barat istana, terdapat bangunan masjid dengan nama Masjid Jamik Sultan Nata Sintang. Di bagian muka masjid itu, terdapat jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Jembatan ini dibangun untuk memudahkan raja dan kerabat istana melaksanakan shalat di masjid. Konstruksi awal masjid ini dibangun pada masa Pangeran Tunggal dengan kapasitas sekitar 50 orang. Perbaikan dan perluasan masjid kemudian dilakukan oleh penerusnya, yakni Sultan Nata pada tahun 1672 M.
Selain bangunan istana dan masjid, ciri khas kompleks istana Melayu adalah makam atau tempat peristirahatan terakhir raja. Ada beberapa makam yang dianggap penting dalam perjalanan sejarah Kerajaan Sintang, antara lain: Makam Aji Melayu yang terdapat di Desa Tanjung Ria, Kecamaan Sepauk (sekitar 55 km dari Ibukota Kabupaten Sintang); Makam Jubair Irawan I, raja pertama Kerajaan Sintang, yang terletak di Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang (sekitar 3 km dari Kota Sintang); Makam Raja-raja Sintang di daerah Kampung Sei Durian, Kecamatan Sintang; serta Makam Kerabat Istana yang terletak di belakang Istana Sintang.
B. Keistimewaan
Dari tepian Sungai Kapuas, lansekap istana ini tampak seperti rumah besar yang anggun dengan dua bangunan pengiring di sisi kanan dan sisi kirinya. Bangunan utama terletak di bagian tengah agak ke depan, sedangkan dua bangunan lainnya mengapit di kedua sisi bangunan utama. Bangunan utama terdiri dari serambi depan, ruang tamu, ruang pribadi sultan, serta serambi belakang. Bangunan pengiring di sisi barat bangunan utama digunakan sebagai ruang istirahat dan ruang keluarga sultan, sementara yang di sisi timur difungsikan sebagai ruang tidur tamu sultan. Secara keseluruhan Istana Al Mukarrammah Sintang memiliki luas bangunan sekitar 652 m2.
Hingga saat ini, Istana Sintang masih digunakan sebagai kediaman sultan, yaitu Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M Ikhsan Perdana yang dinobatkan pada 22 Juli 2006 lalu. Hanya saja, bangunan pengiring di sisi barat kediaman sultan saat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Kerajaan Sintang, sementara di sisi timur, selain sebagian digunakan untuk menyimpan foto dan lukisan raja-raja Sintang, juga dimanfaatkan sebagai ruang kelas Taman kanak-kanak (TK) Dara Djuanti.
Dari teras bangunan utama, wisatawan dapat memandang taman rumput yang cukup luas di halaman depan istana, juga dermaga kecil, serta pertemuan aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Berbeda dengan keraton-keraton di Jawa, keraton-keraton Melayu umumnya dibangun di sisi sungai besar. Istana Kadriah Pontianak, Keraton Paku-Surya Negara Sanggau, serta Keraton Ismahayana Landak juga dibangun di tepi sungai. Hal ini menyiratkan bahwa “jalan raya” yang menjadi nadi lalu-lintas utama ketika itu adalah jalur sungai.
Selain dapat menikmati lansekap istana, para pelancong juga dapat menyaksikan berbagai macam benda-benda bersejarah di istana ini. Di halaman istana, Anda dapat menyaksikan sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang. Di serambi depan istana, para turis dapat melihat salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Nata (disalin ulang pada tahun 1939) serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang. Sedangkan pada bangunan sisi barat dan timur pengunjung dapat melihat koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam (seperti talam, kempu, dan bokor), koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.
Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari Majapahit.
C. Lokasi
Kompleks istana ini terletak di ‘kampung sultan‘, yaitu sebutan lain dari Kampung Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Untuk mencapai istana ini, para pelancong dapat menggunakan bus atau mobil sewaan dari Kota Pontianak (Ibukota Provinsi Kalbar) menuju Kota Sintang selama + 9 jam. Dari Kota Sintang, tepatnya di Terminal Pasar Durian, wisatawan dapat menumpang perahu motor untuk menyeberang Sungai Kapuas menuju istana dengan ongkos sekitar Rp 3.000 per orang (September 2009).
E. Harga Tiket
Memasuki kompleks Istana Al Mukarrammah Sintang tidak dipungut biaya. Namun, para pelancong dianjurkan untuk menyumbang dana seikhlasnya pada kotak sumbangan yang disediakan di ruang pamer koleksi istana.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Kompleks Istana Sintang memiliki fasilitas berupa masjid yang lengkap dengan tempat wudu dan toilet yang dapat digunakan oleh para pengunjung masjid. Selain itu, istana ini juga memiliki taman rumput, dermaga pandang di tepi sungai, serta area parkir yang cukup memadai. Untuk keperluan yang lebih kompleks, seperti kebutuhan penginapan, rumah makan, serta belanja buah dan makanan khas Kota Sintang, para para pelancong dapat memperolehnya di Kota Sintang, terutama di sekitar Terminal Pasar Durian.
Makam Batu Layang
Makam Batu Layang, juga disebut dengan Taman Makam Raja-raja dari Kerajaan Pontianak, mulai dari Raja Pertama (Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie) hingga Raja terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga raja. Tempat ini biasanya ramai dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak kurang lebih 2 kilometer dari Tugu Khatulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun transportasi air (sampan).
Makam Batu Layang, juga disebut dengan Taman Makam Raja-raja dari Kerajaan Pontianak, mulai dari Raja Pertama (Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie) hingga Raja terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga raja. Tempat ini biasanya ramai dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak kurang lebih 2 kilometer dari Tugu Khatulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun transportasi air (sampan).
Tugu Khatulistiwa (Pontianak)
Tugu Khatulistiwa terletak di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Setiap tanggal 21 -23 Maret dan 21-23 September setiap tahun diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini, yakni matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga bayangan benda di tempat ini hilang.
Di kompleks Tugu Khatulistiwa sering pula diadakan agenda wisata khusus, seperti pertunjukan kesenian, pameran dan sebagainya.
Berdasarkan catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en. W oleh Opzihter Wiesedikutip dari Bijdragentot de geographie dari Chep Van den topographieschen dient in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928, telah datang di Pontianak suatu ekspedisi internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis equator di Pontianak.
Konstruksi awal Tugu Khatulistiwa yang pertama dibangun tahun 1928, hanya berbentuk tonggak dengan tanda panah. Tahun 1930 disempurnakan berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban. Pada tahun 1990 kembali Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang asli. Tugu ini diresmikan pada tanggal 21 September 1991.
Bangunan tugu terdiri dari empat buah tonggak belian, masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter.Diameter lingkaran yang bertulisan EVENAAR 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter. Tulisan plat di bawah anak panah tertera 109 o 20' OLvGr menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.
Tugu Khatulistiwa terletak di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Setiap tanggal 21 -23 Maret dan 21-23 September setiap tahun diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini, yakni matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga bayangan benda di tempat ini hilang.
Di kompleks Tugu Khatulistiwa sering pula diadakan agenda wisata khusus, seperti pertunjukan kesenian, pameran dan sebagainya.
Berdasarkan catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en. W oleh Opzihter Wiesedikutip dari Bijdragentot de geographie dari Chep Van den topographieschen dient in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928, telah datang di Pontianak suatu ekspedisi internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis equator di Pontianak.
Konstruksi awal Tugu Khatulistiwa yang pertama dibangun tahun 1928, hanya berbentuk tonggak dengan tanda panah. Tahun 1930 disempurnakan berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban. Pada tahun 1990 kembali Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang asli. Tugu ini diresmikan pada tanggal 21 September 1991.
Bangunan tugu terdiri dari empat buah tonggak belian, masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter.Diameter lingkaran yang bertulisan EVENAAR 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter. Tulisan plat di bawah anak panah tertera 109 o 20' OLvGr menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.
Keraton Sambas
Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas terletak di daerah pertemuan sungai pada bidang tanah yang berukuran sekitar 16.781 meter persegi membujur arah barat-timur.
Pada bidang tanah ini terdapat beberapa buah bangunan, yaitu dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar, dua buah gerbang, dua buah paseban, kantor tempat sultan bekerja, bangunan inti keraton (balairung), dapur, dan masjid sultan.
Bangunan keraton menghadap ke arah barat ke arah sungai Sambas. Ke arah utara dari dermaga terdapat Sungau Sambas Kecil, dan ke arah selatan terdapat Sungai Teberau. Di sekeliling tanah keraton merupakan daerah rawa-rawa dan mengelompok di beberapa tempat terdapat makam keluarga sultan.
Bangunan keraton yang lama dibangun oleh Sultan Bima pada tahun 1632 (sekarang telah dihancurkan), sedangkan keraton yang masih berdiri sekarang dibangun pada tahun 1933. Sebagai sebuah keraton di tepian sungai, di mana sarana transportasinya perahu/ kapal, tentunya di tepian sungai dibangun dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar. Dermaga yang terletak di depan keraton dikenal dengan nama jembatan Seteher. Jembatan ini menjorok ke tengah sungai. Dari dermaga ini ada jalan yang menuju keraton dan melewati gerbang masuk.
Gerbang masuk yang menuju halaman keraton dibuat bertingkat dua dengan denahnya berbentuk segi delapan dan luasnya 76 meter persegi. Bagian bawah digunakan untuk tempat penjaga dan tempat beristirahat bagi rakyat yang hendak menghadap sultan, dan bagian atas digunakan untuk tempat mengatur penjagaan.
Selain itu, bagian atas pada saat-saat tertentu digunakan sebagai tempat untuk menabuh gamelan agar rakyat seluruh kota dapat mendengar kalau ada keramaian di keraton.
Setelah melalui pintu gerbang yang bersegi delapan, di tengah halaman keraton dapat dilihat tiang bendera yang disangga oleh empat batang tiang. Tiang bendera ini melambangkan sultan, dan tiang penyangganya melambangkan empat pembantu sultan yang disebut wazir. Di bagian bawah tiang bendera terdapat dua pucuk meriam, dan salah satu di antaranya bernama Si Gantar Alam.
Sebelum memasuki keraton, dari halaman yang ada tiang benderanya, kita harus melalui lagi sebuah gerbang. Gerbang masuk ini juga terdiri dari dua lantai, tetapi bentuk denahnya empat persegi panjang. Lantai bawah tempat para penjaga yang bertugas selama 24 jam, sedangkan lantai atas dipakai untuk keluarga sultan beristirahat sambil menyaksikan aktivitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Setelah melalui gerbang kedua dan pagar halaman inti, sampailah pada bangunan keraton.
Di dalam kompleks keraton terdapat tiga buah bangunan. Di sebelah kiri bangunan utama terdapat bangunan yang berukuran 5 x 26 meter. Pada masa lampau bangunan ini berfungsi sebagai dapur dan tempat para juru masak keraton. Di sebelah kanan bangunan utama terdapat bangunan lain yang ukurannya sama seperti bangunan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat Sultan dan pembantunya bekerja. Dari bangunan tempat Sultan bekerja dan bangunan utama keraton dihubungkan dengan koridor beratap dengan ukuran panjang 5,90 meter dan lebar 1,50 meter.
Di bagian dalam bangunan tempat Sultan dan pembantunya bekerja, tersimpan beberapa benda pusaka kesultanan, di antaranya singgasana kesultanan, pedang pelantikan Sultan, gong, tombak, payung kuning yang merupakan lambang kesultanan, dan meriam lele. Meriam lele yang jumlahnya tujuh buah hingga sekarang masih dianggap barang keramat dan sering diziarahi penduduk. Masing-masing meriam yang berukuran kesil ini mempunyai nama, yaitu Raden Mas, Raden Samber, Ratu Kilat, Ratu Pajajaran, Ratu Putri, Raden Pajang, dan Panglima Guntur.
Bangunan utama keraton berukuran 11,50 x 22,60 meter. Terdiri atas tujuh ruangan, yaitu balairung terletak di bagian depan, kamar tidur sultan, kamar tidur istri sultan, kamar tidur anak-anak sultan, ruang keluarga, ruang makan, dan ruang khusus menjahit. Di bagian atas ambang pintu yang menghubungkan balairung dan ruang keluarga, terdapat lambang Kesultanan Sambas dengan tulisan “Sultan van Sambas” dan angkatahun 15 Juli 1933. Angka tahun ini merupakan tanggal peresmian bangunan keraton.
Di bagian dalam bangunan ini, pada kamar tidur Sultan tersimpan barang-barang khazanah Kesultanan Sambas, di antaranya tempat peraduan sultan, pakaian kebesaran, payung kesultanan, pedang, getar, puan, dan meja tulis Sultan. Pada bagian dinding terpampang gambar-gambar keluarga Sultan yang pernah memerintah Sambas.
RIWAYAT KESULTANAN DAN PARA SULTAN SAMBAS
1. Sultan Muhammad Syafiuddin 1631-1668
2. Sultan Muhammad Tajuddin 1668-1708
3. Sultan Umar Akamuddin I 1708-1732
4. Sultan Abubakar Kamaluddin 1732-1762
5. Sultan Umar Akamuddin II 1762-1786
6. Sultan Achmad Tajuddin 1786-1793
7. Sultan Abubakar Tajuddin 1793-1815
8. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I 1815-1828
9. Sultan Usman Kamaluddin 1828-1830
10. Sultan Umar Akamuddin III 1830-1846
11. Sultan Abubakar Tajuddin II 1846-1855
12. Sultan Sultan Umar Kamaluddin 1855-1866
13. Sultan Muhammad Syafiuddin II 1866-1922
14. Sultan MuhammadAli Syafiuddin II 1922-1926
15. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin 1931-1943
ASAL MULA KESULTANAN SAMBAS
1.Perjalanan sejarah sambas
Sejak tanggal 15 juli 1999,kota Sambas telah kembali bangkit menjadi ibukota Kabupaten Sambas.Sebelumnya,kotaSambas hanya menjadi ibukota kecamatan,salah satu kecamatan dalam kabupaten Daerah Tingkat II sambas yang beribukota di Singkawang (sejak tahun 1957-1999).
Kalau kita lihat ke belakang,sejarah kesultanan Sambas,adalah sebuah kerajaan kesultanan besar di Kalimantan maupun di nusantara Indonesia.Kesultanan Sambas terkenal besar sejak sultan sambas yang pertamal Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668).Kejayaan kesultanan sambas telah membesarkan nama negri Sambas,sampai pada Sultan Sambas ke-15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943).Kerajaan Sambas sirna ketika Sultan ke-15 ini wafat karena ditangkap dan di bunuh oleh tentara pendudukan jepang tahun 1943.Kekejaman facisme jepang meruntuhkan kejayaan Sambas.
Nama dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668).Sejak abad ke-13 masehi sudah ada kekuasaan raja-raja Sambas.Bermula dari kedatangan prajurit majapahit di Paloh.Kemudian pusat kerajaan Sambas berpindah ke kota lama di Teluk keramat.Dari kota lama berpindah ke kota bangun di sungai Sambas Besar.Dari kota bangun pindah lagi ke kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung.Konon menurut cerita,rombongan Raden Sulaiman pernah singgah di Tebas.Mereka sempat menebas daerah ini tetapi kumudian ditinggalkan.Dinamakanlah daerah itu tebas.
Barulah pada masa sultan sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan,di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil,sungai Subah dan sungai Tebarau.Sejak tahun 1668 Kota Sambas itu meliputi daerah Pemangkat, Singkawang dan daerah Sambas sendiri , yang kaya akan emas.
Sejak jaman pendudukan Jepang dan NICA (1942-1950),integritas Kerajaan Sambas telah sirna karena terlibat dengan pergolakan perang Dunia II.Ketika daerah Sambas atau Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara Kesatuan Repulik Indonesia pada tahun 1950, dan dibentuknya pemerintahan administrative Kabupaten Sambas, rakyat sambas sesungguhnya menuntut agar kota Sambas tetap menjadi ibukota kabupaten Sambas.Keinginan rakyat Sambas ini adalah sebagai upaya melanjutkan kembali kejayaan negri Sambas sejak pemerintahan para Sultan Sambas dari tahun 1631-1943.
Allhamdullillah, keinginan rakyat sambas menjadikan kota sambas sebagai ibukota Kabupaten Sambas terwujud juga sejak tanggal 15 juli 1999.Pemerintahan kabupaten Sambas berkedudukan di kota Sambas, yang telah sirna sejak tahun 1943-1999,lima puluh tahun kemudian.
2.Purba sejarah Sambas
Riwayat kerajaan dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya kesultanan islam Sambas pada awal abad ke-17.Sumber tertulis utama tentang kesultanan Sambas,adalah tulisan Sultan Muhammad Syafiuddin II berjudul “Silsilah Raja-raja Sambas” yang tertulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember 1903.
Sumber tertulis utama dari Negara Brunai Darussalam adalah kitab “Silsilah Raja-Raja Brunai”.Sumber sejarah kesultanan Sambas berkaitan dengan kerajaan Brunai telah diterbitkan dalam tiga buah buku oleh Pusat sejarah Brunai.Ketiga buku tersebut adalah:
1. “Tarsilah Brunai,sejarah awal dan perkembangan islam”(thn 1990).
2. “Raja tengah, Sultan Serawak Pertama dan Terakhir”(thn 1995).
3. “Tarsilah Brunai, Zaman kegemilangan dan Kemashuran”(thn 1997).
Didalam sejarah Raja-raja Brunai maupun Silsilah Raja-Raja Sambas, riwayat kesultana Sambas dijelaskan mulai masa Raja tengah,Raja Serawak yang selam 40 thn berada di Sukadana dan Sambas (1600-1641).Raden Sulaiman adalah putera Raja Tengah dari perkawinan Raja Tengah dgn Puteri Surya Kusuma,puteri sultan Matan/Sukadana,Sultan Muhammad Syafiuddin.Kemudian Raden Sulaiman adalah Sultan Sambas pertama: 1631-1668.
Namun Sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum Raden Sulaiman berkuasa.Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis tentang purba sejarah Sambas,dari catatan kerajaan Majapahit dan Kronik-kronik Kaisar Cina,disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan,Jawa,Sumatera,Malaka dan Brunai serta Kekaisaran Cina pada abad ke-13 dan ke-14.
Masa purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidakpastian karena tidak banyak data dan informasi yang diperoleh.namun daerah bagian Barat Kalimantan telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina,India dan Arab sejak abad ke-10.
Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas terletak di daerah pertemuan sungai pada bidang tanah yang berukuran sekitar 16.781 meter persegi membujur arah barat-timur.
Pada bidang tanah ini terdapat beberapa buah bangunan, yaitu dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar, dua buah gerbang, dua buah paseban, kantor tempat sultan bekerja, bangunan inti keraton (balairung), dapur, dan masjid sultan.
Bangunan keraton menghadap ke arah barat ke arah sungai Sambas. Ke arah utara dari dermaga terdapat Sungau Sambas Kecil, dan ke arah selatan terdapat Sungai Teberau. Di sekeliling tanah keraton merupakan daerah rawa-rawa dan mengelompok di beberapa tempat terdapat makam keluarga sultan.
Bangunan keraton yang lama dibangun oleh Sultan Bima pada tahun 1632 (sekarang telah dihancurkan), sedangkan keraton yang masih berdiri sekarang dibangun pada tahun 1933. Sebagai sebuah keraton di tepian sungai, di mana sarana transportasinya perahu/ kapal, tentunya di tepian sungai dibangun dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar. Dermaga yang terletak di depan keraton dikenal dengan nama jembatan Seteher. Jembatan ini menjorok ke tengah sungai. Dari dermaga ini ada jalan yang menuju keraton dan melewati gerbang masuk.
Gerbang masuk yang menuju halaman keraton dibuat bertingkat dua dengan denahnya berbentuk segi delapan dan luasnya 76 meter persegi. Bagian bawah digunakan untuk tempat penjaga dan tempat beristirahat bagi rakyat yang hendak menghadap sultan, dan bagian atas digunakan untuk tempat mengatur penjagaan.
Selain itu, bagian atas pada saat-saat tertentu digunakan sebagai tempat untuk menabuh gamelan agar rakyat seluruh kota dapat mendengar kalau ada keramaian di keraton.
Setelah melalui pintu gerbang yang bersegi delapan, di tengah halaman keraton dapat dilihat tiang bendera yang disangga oleh empat batang tiang. Tiang bendera ini melambangkan sultan, dan tiang penyangganya melambangkan empat pembantu sultan yang disebut wazir. Di bagian bawah tiang bendera terdapat dua pucuk meriam, dan salah satu di antaranya bernama Si Gantar Alam.
Sebelum memasuki keraton, dari halaman yang ada tiang benderanya, kita harus melalui lagi sebuah gerbang. Gerbang masuk ini juga terdiri dari dua lantai, tetapi bentuk denahnya empat persegi panjang. Lantai bawah tempat para penjaga yang bertugas selama 24 jam, sedangkan lantai atas dipakai untuk keluarga sultan beristirahat sambil menyaksikan aktivitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Setelah melalui gerbang kedua dan pagar halaman inti, sampailah pada bangunan keraton.
Di dalam kompleks keraton terdapat tiga buah bangunan. Di sebelah kiri bangunan utama terdapat bangunan yang berukuran 5 x 26 meter. Pada masa lampau bangunan ini berfungsi sebagai dapur dan tempat para juru masak keraton. Di sebelah kanan bangunan utama terdapat bangunan lain yang ukurannya sama seperti bangunan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat Sultan dan pembantunya bekerja. Dari bangunan tempat Sultan bekerja dan bangunan utama keraton dihubungkan dengan koridor beratap dengan ukuran panjang 5,90 meter dan lebar 1,50 meter.
Di bagian dalam bangunan tempat Sultan dan pembantunya bekerja, tersimpan beberapa benda pusaka kesultanan, di antaranya singgasana kesultanan, pedang pelantikan Sultan, gong, tombak, payung kuning yang merupakan lambang kesultanan, dan meriam lele. Meriam lele yang jumlahnya tujuh buah hingga sekarang masih dianggap barang keramat dan sering diziarahi penduduk. Masing-masing meriam yang berukuran kesil ini mempunyai nama, yaitu Raden Mas, Raden Samber, Ratu Kilat, Ratu Pajajaran, Ratu Putri, Raden Pajang, dan Panglima Guntur.
Bangunan utama keraton berukuran 11,50 x 22,60 meter. Terdiri atas tujuh ruangan, yaitu balairung terletak di bagian depan, kamar tidur sultan, kamar tidur istri sultan, kamar tidur anak-anak sultan, ruang keluarga, ruang makan, dan ruang khusus menjahit. Di bagian atas ambang pintu yang menghubungkan balairung dan ruang keluarga, terdapat lambang Kesultanan Sambas dengan tulisan “Sultan van Sambas” dan angkatahun 15 Juli 1933. Angka tahun ini merupakan tanggal peresmian bangunan keraton.
Di bagian dalam bangunan ini, pada kamar tidur Sultan tersimpan barang-barang khazanah Kesultanan Sambas, di antaranya tempat peraduan sultan, pakaian kebesaran, payung kesultanan, pedang, getar, puan, dan meja tulis Sultan. Pada bagian dinding terpampang gambar-gambar keluarga Sultan yang pernah memerintah Sambas.
RIWAYAT KESULTANAN DAN PARA SULTAN SAMBAS
1. Sultan Muhammad Syafiuddin 1631-1668
2. Sultan Muhammad Tajuddin 1668-1708
3. Sultan Umar Akamuddin I 1708-1732
4. Sultan Abubakar Kamaluddin 1732-1762
5. Sultan Umar Akamuddin II 1762-1786
6. Sultan Achmad Tajuddin 1786-1793
7. Sultan Abubakar Tajuddin 1793-1815
8. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I 1815-1828
9. Sultan Usman Kamaluddin 1828-1830
10. Sultan Umar Akamuddin III 1830-1846
11. Sultan Abubakar Tajuddin II 1846-1855
12. Sultan Sultan Umar Kamaluddin 1855-1866
13. Sultan Muhammad Syafiuddin II 1866-1922
14. Sultan MuhammadAli Syafiuddin II 1922-1926
15. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin 1931-1943
ASAL MULA KESULTANAN SAMBAS
1.Perjalanan sejarah sambas
Sejak tanggal 15 juli 1999,kota Sambas telah kembali bangkit menjadi ibukota Kabupaten Sambas.Sebelumnya,kotaSambas hanya menjadi ibukota kecamatan,salah satu kecamatan dalam kabupaten Daerah Tingkat II sambas yang beribukota di Singkawang (sejak tahun 1957-1999).
Kalau kita lihat ke belakang,sejarah kesultanan Sambas,adalah sebuah kerajaan kesultanan besar di Kalimantan maupun di nusantara Indonesia.Kesultanan Sambas terkenal besar sejak sultan sambas yang pertamal Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668).Kejayaan kesultanan sambas telah membesarkan nama negri Sambas,sampai pada Sultan Sambas ke-15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943).Kerajaan Sambas sirna ketika Sultan ke-15 ini wafat karena ditangkap dan di bunuh oleh tentara pendudukan jepang tahun 1943.Kekejaman facisme jepang meruntuhkan kejayaan Sambas.
Nama dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668).Sejak abad ke-13 masehi sudah ada kekuasaan raja-raja Sambas.Bermula dari kedatangan prajurit majapahit di Paloh.Kemudian pusat kerajaan Sambas berpindah ke kota lama di Teluk keramat.Dari kota lama berpindah ke kota bangun di sungai Sambas Besar.Dari kota bangun pindah lagi ke kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung.Konon menurut cerita,rombongan Raden Sulaiman pernah singgah di Tebas.Mereka sempat menebas daerah ini tetapi kumudian ditinggalkan.Dinamakanlah daerah itu tebas.
Barulah pada masa sultan sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan,di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil,sungai Subah dan sungai Tebarau.Sejak tahun 1668 Kota Sambas itu meliputi daerah Pemangkat, Singkawang dan daerah Sambas sendiri , yang kaya akan emas.
Sejak jaman pendudukan Jepang dan NICA (1942-1950),integritas Kerajaan Sambas telah sirna karena terlibat dengan pergolakan perang Dunia II.Ketika daerah Sambas atau Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara Kesatuan Repulik Indonesia pada tahun 1950, dan dibentuknya pemerintahan administrative Kabupaten Sambas, rakyat sambas sesungguhnya menuntut agar kota Sambas tetap menjadi ibukota kabupaten Sambas.Keinginan rakyat Sambas ini adalah sebagai upaya melanjutkan kembali kejayaan negri Sambas sejak pemerintahan para Sultan Sambas dari tahun 1631-1943.
Allhamdullillah, keinginan rakyat sambas menjadikan kota sambas sebagai ibukota Kabupaten Sambas terwujud juga sejak tanggal 15 juli 1999.Pemerintahan kabupaten Sambas berkedudukan di kota Sambas, yang telah sirna sejak tahun 1943-1999,lima puluh tahun kemudian.
2.Purba sejarah Sambas
Riwayat kerajaan dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya kesultanan islam Sambas pada awal abad ke-17.Sumber tertulis utama tentang kesultanan Sambas,adalah tulisan Sultan Muhammad Syafiuddin II berjudul “Silsilah Raja-raja Sambas” yang tertulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember 1903.
Sumber tertulis utama dari Negara Brunai Darussalam adalah kitab “Silsilah Raja-Raja Brunai”.Sumber sejarah kesultanan Sambas berkaitan dengan kerajaan Brunai telah diterbitkan dalam tiga buah buku oleh Pusat sejarah Brunai.Ketiga buku tersebut adalah:
1. “Tarsilah Brunai,sejarah awal dan perkembangan islam”(thn 1990).
2. “Raja tengah, Sultan Serawak Pertama dan Terakhir”(thn 1995).
3. “Tarsilah Brunai, Zaman kegemilangan dan Kemashuran”(thn 1997).
Didalam sejarah Raja-raja Brunai maupun Silsilah Raja-Raja Sambas, riwayat kesultana Sambas dijelaskan mulai masa Raja tengah,Raja Serawak yang selam 40 thn berada di Sukadana dan Sambas (1600-1641).Raden Sulaiman adalah putera Raja Tengah dari perkawinan Raja Tengah dgn Puteri Surya Kusuma,puteri sultan Matan/Sukadana,Sultan Muhammad Syafiuddin.Kemudian Raden Sulaiman adalah Sultan Sambas pertama: 1631-1668.
Namun Sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum Raden Sulaiman berkuasa.Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis tentang purba sejarah Sambas,dari catatan kerajaan Majapahit dan Kronik-kronik Kaisar Cina,disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan,Jawa,Sumatera,Malaka dan Brunai serta Kekaisaran Cina pada abad ke-13 dan ke-14.
Masa purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidakpastian karena tidak banyak data dan informasi yang diperoleh.namun daerah bagian Barat Kalimantan telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina,India dan Arab sejak abad ke-10.
Langganan:
Postingan (Atom)